Lihat ke Halaman Asli

Kenormalan yang Abnormal

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Membicarakan normal dan abnormal di zaman sekarang seperti sedang membicarakan hal yang ambigu. Bisa dilihat di zaman yang memang ambang batas kenormalan pun masih dirasa abu-abu. Dikarenakan hampir setiap orang memiliki pemikiran, budaya, kebiasaan, ukuran yang berbeda tentang ambang batas sesuatu perilaku itu dikategorikan normal atau abnormal. Mengapa iya, penjelasannya karena ada perbedaan tadi. Bila ada dua atau lebih budaya yang berkumpul, pasti aka nada perbedaan kebiasaan dan bahasa. Ada yang blak-blakan dan yang satunya lemahlembut, seperti di Korea, kalau kita makan mie di Korea harus mengeluarkan suara “ssrrrrtt” sebagai tanda bahwa mie tersebut enak dan untuk menghormati koki, sangat berbeda dengan di Indonesia.

Jika dikaji berdasarkan definisinya, normal diartikan sesuai atau tidak menyimpang dengan kategori umum. Kategori umum ini sama halnya dengan sesuatu hal yang sudah disepakati oleh banyak orang. Sedang abnormal diartikan tidak sesuai dengan kategori umum. Hal ini berarti bisa di bawah atau di atas kategori umum. Nah, sebagai contoh lagi.. jika di Jakarta orang berbicara “Lo-Gue” itu hal yang normal, tapi ketika orang tersebut pergi ke Malang misalnya, itu akan menjadi hal yang abnormal karena tidak sesuai dengan daerah Malang yang biasa berbicara “awakmu-aku atau ayas-umak”. Begitu juga dengan logat, kita selalu menganggap logat kita sendiri yang normal dan orang lain yang abnormal. Cara berpakaian, berhijab atau apapun hal yang memang normal orang lain bisa menganggap itu abnormal karena tidak sesuai dengan pandangan diri sendiri.

Hal normal juga bisa menjadi abnormal jika tidak irrasional. Misalnya, ketika mendengar kata “putus” dari yang terkasih langsung merasa hamper tidak bisa merasakan hidup, malas makan, mandi, selalu di dalam kamar, menangis semalaman atau bahkan menyakiti diri sendiri, dan lain lain, atau menangis histeris saat artis idola tidak member senyum atau menyapa pada arahnya saat di depan hotel, ada begitu banyak contoh yang ada disekitar kita.

Jika dilakukan secara berlebihan, hal yang normal juga akan menjadi abnormal bagi kita. Menangis histeris hingga pingsan ketika ditinggal orang terkasih, berusaha dengan keras menghindari atau bahkan sampai tidak ingin melihat makanan berlemak karena sedang diet.

Percaya atau tidak, orang pintar yang selalu juara satu di kelas dikatakan abnormal. Kita ingat lagi pengertian abnormal. Selalu menjadi juara satu di kelas menjadi abnormal karena berada di atas kategori umum danjuga menurut pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif menganggap hal abnormal adalah sesuatu yang berada di atas atau di bawah rerata. Jadi, tidak hanya orang pintar yang dianggap abnormal, orang yang belum pintar juga dikatakan abnormal.

Ingat juga bahwa persepsi atau interpretasi yang salah tentang realitas membuat suatu hal normal menjadi abnormal dan atau sebaliknya. Percaya bahwa toko atau tempat usaha yang cepat laku karena memiliki pesugihan, percaya bahwa rokok, minuman kerasa dan narkoba adalah jalan pintas menuju superstar dan contoh realitas lainnya. Jadi..??

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline