Lihat ke Halaman Asli

Sofiah Rohul

Freelancer

PR Oh PR, Harus Senang atau Mengutuk?

Diperbarui: 2 November 2022   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Mendengar kata PR singkatan dari Pekerjaan Rumah, bisa membuat senang dan sedih bagi siswa itu sendiri. Apalagi jika jam terakhir dan pelajarannya hitungan, lalu bel atau lonceng sekolah tiba, dalam hati "yes akhirnya dijadikan PR." Harus senang atau mengutuk?


Berbicara PR tentu berkaitan dengan beberapa hal misalnya saja melatih siswa agar tetap mengingat pelajaran tidak hanya teori namun juga praktik. Sehingga, tidak hanya formalitas dalam menuntut ilmu.

Tak hanya itu, PR pun akan menjadikan peserta didik berpacu dalam waktu serta pikiran juga tanggungjawab. Bagaimana jika tidak selesai? bagaimana kalau banyak salah? Dan sederet pertanyaan lainnya. Untuk itu, PR masih eksis hingga saat ini.

Apalagi di jaman sekarang ini yang serba teknologi dan canggih. PR sudah bisa dikirim lewat aplikasi, classroom misalnya. Sehingga, telat saja mengumpulkan PR, langsung ketahuan. PR oh PR.

Tentunya ada perbedaan di jamanku generasi 90-an. Jaman dimana, mengerjakan PR hanya bertanya pada buku, orangtua, anggota keluarga, kaka kelas, serta temn kelompok belajar. Penggunaan HP masih jarang sekali. Aku pribadi baru menggunakan HP saat kelas 2 SMP itupun black center. Sudahlah jangan dibayangkan, kamu tidak kuat, biar aku saja.

Sejauh yang kulihat, pendidikan dulu tidak begitu gila dengan PR, yang penting murid paham dulu dengan materi. Menariknya lagi, buku kurikulum KTSP sangat banyak penjelasan di dalamnya. Sehingga, soal-soal yang diberikan hampir 90 persen jawabannya ada di buku asalkan mau membaca.

Berbeda dengan kurikulum 2013 atau K13 buku tema. Penjelasan sedikit, soal banyak lalu dijadikan PR. Kemudian, biar siswa bisa jawab diadakan les. Ini sebenarnya apa yang terjadi? Apakah hanya kejar target yang penting soal-soal selesai atau bagaimana? Jika begini kasian anak murid karena kurang pemahaman.

Belum lagi, tingkat kecerdasan siswa berbeda-beda. Jika yang cepat nangkap, bolehlah. Tapi, kalau yang perlu penjelasan lebih, tentunya kan harus ekstra dalam belajr dan menguasai materi.

Jangan sampai sistem pendidikan yang terus dipebarui dengan regulasi baru hanya untuk coba-coba. Bukan tidak mendukung pemerintah, hanya saja anggaran yang dikeluarkan harus sebanding dengan hasil yang diharapkan.

Sedikit bercerita, aku tinggal di sebuah desa dimana di sini sejak jamanku SD, begitu selesai sekolah, siangnya sekira pukul 14.30 WIB anak-anak SD akan melangsungkan PDTA. Lalu, pukul 16.30 WIB pulang. Selanjutnya, pergi mengaji sebelum maghrib dan selesai setelah isya. Bisajadi pukul 20.30 baru sampai ke rumah. Sepadat itu kegiatan. Alternatif mengerjakan PR jika tidak sepulang sekolah ya sepulang ngaji.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline