Lihat ke Halaman Asli

Sofia Akmalunnisa

Mahasiswa Universitas Airlangga

Opini: Hak Asasi Perempuan dan Anak

Diperbarui: 7 Maret 2024   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berbicara mengenai Hak Asasi Perempuan dan Anak rasanya masih sama dengan kita mendefinisikan dengan Hak Asasi Manusia, tentu kita paham bahwa hakikat HAM ini adalah untuk melindungi setiap hak yang ingin dilakukan manusia sesuai takdir sebagaimana semestinya, dan hal ini pemberian dari Tuhan, tidak dapat disangkal lagi, namun sayang, masyarakat kita masih terlalu buta dengan Hak Asasi Manusia.

Seringkali dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari tidak luput dengan keseharian bersama lawan jenis, terkhusus kepada wanita yang kerap menjadi bahan olokan dan selalu menjadi masyarakat kelas dua, seakan wanita tak memiliki hak hidup yang sama seperti kaum masyarakat lainnya yang hidup sebagaimana semestinya.

Dalam hal ini, wanita harus dilindungi, namun tidak hanya wanita namun anak dibawah umur yang juga tidak mendapatkan hak dan perlakuan yang tidak menyenangkan wajib untuk lapor ke pihak yang berkewajiban melindungi yakni, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 61 tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia, disebutkan dalam pasal 2 bahwa KPAI bertanggung jawab kepada Presiden RI dan dalam pasal 72 Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jelas di sebutkan bahwa kewajiban perlindungan anak merupakan tanggung jawab Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Hampir mirip dengan kesetaraan gender, perempuan juga memiliki hak untuk bertahan hidup agar tidak terjerat kasus pemerkosaan sehingga memunculkan ribuan fitnah yang dilayangkan, bahkan masyarakat pun kian menuduh bahwa perempuan memiliki posisi yang salah, padahal perempuan dengan korban kasus pemerkosaan harus dirangkul dan didengar. Begitupula dengan anak yang kerap dilecehkan secara terang-terangan, mereka bahkan tak berani bersuara untuk mendapatkan keadilan, mereka terkadang diam karena takut seolah tak ada yang mau mendengar bagaimana cerita mereka disaat itu juga, dunia anak seketika mati manakala keadilan hak tak diperjuangkan kembali.

Hal ini kemudian perlu menjadi perhatian yang serius ketika isu pembahasan perempuan dan anak sulit diterima di masyarakat secara umum dan selalu mendapat tekanan dari berbagai kepentingan. Kemudian bertepatan dengan tanggal 8 Maret 1909 yang jatuh pada hari Jumat, rasanya tema ini cukup dinantikan oleh seluruh perempuan khususnya di Indonesia, bahwa sesungguhnya perempuan adalah tonggak peradaban, ada pepatah mengatakan "Bila perempuannya rusak, maka rusaklah bangsanya. Bila perempuannya baik, maka baik pula bangsanya". Tahun perempuan internasional merupakan tonggak baru bagi para wanita di seluruh dunia lantaran pada konferensi tersebut prinsip mendasar dari para wanita di seluruh dunia terakomodasi dan permasalahan perempuan mulai tertampung. Pencapaian egaliter antara perempuan dan laki-laki merupakan awal dari terbentuknya HAM (Sihite, 2007 : 177) dan Konferensi HAM di Wina (1993) secara tegas menyatakan bahwa hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia (Women's Right is Human's Right), dengan kata lain hak asasi perempuan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa ditawar. Mengingat kembali isu Perempuan dan Anak, rupanya isu tersebut belum diberi tindaklanjut yang lebih serius oleh negara dan hal ini biasanya sering dibahas oleh para feminisme diluar sana, bukan hanya tentang hak perempuan dan anak, melainkan diberi kebebasan berpendapat dan kebebasan bekerja diluar rumah sehingga tidak terjadi tumpang tindih antar laki-laki dan perempuan.

Maka, dalam rangka untuk menghapus ketidakadilan terhadap perempuan dan anak perlu adanya penegasan hukum kepada pihak yang berwenang supaya kekerasa terhadap perempuan dan anak tidak terjadi secara liar, keduanya sama-sama harus diperlakukan layaknya manusia yang hidup dan adil, sebagaimana sila ke-2 yang belum sepenuhnya dilakukan secara sadar, yakni "kemanusiaan yang adil dan beradab" 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline