Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk padat, menurut Data kependudukan Semester II Tahun 2021 tanggal 30 Desember 2021 mencapai 273.879.750 jiwa, yang diumumkan oleh Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Dukcapil.
Pertumbuhan penduduk atau Bonus Demografi yang terus menerus dapat memberikan dampak buruk untuk penduduk itu sendiri. Mulai dari kerusakan lingkungan, angka pengangguran yang meningkat berdampak pada kemiskinanan, kesenjangan sosial dan sangat berdampak pada derajat Kesehatan yang pastinya akan terus menurun.
Salah satu masalah Kesehatan yang muncul ditengah pertumbuhan penduduk yaitu masalah gizi buruk yang mencakup kekurangan gizi dan stunting.
Masalah gizi dan stunting sampai saat ini masih menjadi fokus pencegahan didalam meningkatkan derajat Kesehatan penduduk. Hal ini dikarenakan harapan dari dampak bonus demografi tetap dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif. Sebagian orang masih keliruh dalam memahami apa itu stunting dan gizi buruk.
Gizi buruk adalah efek jangka pendek yang menimbulkan keluhan perut yang membuncit, sedangkan stunting menimbulkan efek jangka panjang ke pertumbuhan tinggi badan yang terhambat. Gizi buruk dapat mempengaruhi kecerdasan dan stunting lebih mempengaruhi Kesehatan tubuh.
Bagaimana stunting di Aceh ? Berdasarkan data dari direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian dalam negeri mencatat jumlah penduduk Aceh pada Juni 2021 sebanyak 5,33 juta jiwa. Dari jumlah data tersebut, sebanyak 3,52 juta (66,2%) penduduk di Aceh merupakan kelompok usia produktif (15-64 tahun). Persoalannya adalah kelompok anak-anak dan remaja berusia belia saat ini berpotensi menyimpan penyakit yang dapat menggangu diusia produktif mereka nantinya.
Didalam buku saku "Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kabupaten/ Kota tahun 2021" memuat data balita yang menderita stunting. Peringkat pertama diduduki oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah 37,8%, peringkat kedua oleh Provinsi Sulawesi Barat 33,8% dan peringkat ketiga oleh Provinsi Aceh sebanyak 33,2%.
Pada provinsi Aceh untuk kabupaten/kota di Aceh tingkat kasus balita yang menderita stunting, peringkat tertinggi berada di Gayo Lues pada tahun 2021 yaitu 42,9%, Kota Subulussalam berjumlah 41,8%, Bener Meriah berjumlah 40,0%, Pidie 39,3%, Aceh Utara 38,8% dan yang terakhir berada di Aceh Timur 34,4%. Sedangkat untuk Kabupaten terendah kasus Stunting di Aceh tahun 2021 yaitu berada di Banda Aceh 23,4%, Sabang 23,8%, Bireuen 24,3%, Kota Langsa 25,5% dan Simeulue 25,9%.
Hasil riset pada tahun 2021 untuk kasus penderita stunting memang sangat di sayangkan karena Aceh berada di urutan ketiga tingkat nasional. Akan tetapi hal tersebut terbayarkan karena angka penurunan prevalensi stunting di Aceh tercatat turun secara signifikan menurut data dari SGGI yang diumumkan Desember 2021, mencatat angka prevalensi stunting di Indonesia turun menjadi 24,4 % dan khususnya di Aceh turun menjadi 33, 2 %.
Dilansir dari laman Jdih.Acehprov.go.id, Gubernur Aceh Nova Iriansyah menyampaikan sejak keluarnya riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menyebutkan angka prevalensi stunting di Indonesia mencapai 30,8 % dan di Aceh tercatat 37,9% . Pada saat itu juga pemerintah Indonesia mulai mengeluarkan aksi bersama yang disebut "Gerakan Nasional Pencegahan Stunting".
Berdasarkan data kasus sebaran stunting di kabupaten Aceh, Gayo Luwes menjadi kabupaten dengan kasus stunting tertinggi. Hasil riset ini pastinya menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa di Kabupaten Gayo Luwes angka stunting masih sangat tinggi ? Apakah program pencegahan stunting di Gayo luwes sudah berjalan maksimal ?
Dalam kegiatan Sosialisasi RAN PASTI, Rencana Nasional Penurunan Percepatan Angka Stunting Indonesia yang diadakan di Hotel Grand Permata Hati Kota Banda Aceh.
Asisten Pemerintah Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Gayo Lues, Muslim SE menyampaikan dari 100 ribu orang penduudk Gayo Lues terdapat 400 orang lebih warga yang mengalami stunting pada tahun 2021. Menurut Muslim, terdapat beberapa sebab kasus stunting di Gayo Lues tinggi dan tidak maksimal berjalannya program pencegahan stunting.
Sebab-sebab tersebut baik dari sektor pemerintahan, Pendidikan dan kurangnya kebutuhan makanan dan gizi yang kurang seimbang.
Pertama, letak geografis kabupaten Gayo Lues dan provinsi Aceh cukup jauh. Kemudian antara desa dengan pusat kota Galus terisolir. Hal ini menjadikan terbatas dan susah dalam mengakses layanan Kesehatan, mencukupi kebutuhan makanan dan kurangnya penyuluhan pihak-pihak program pencegahan stunting ke desa-desa. Kedua, masih sempitnya pola pikir penduduk Gayo Lues yang belum maksimal (tradisional), Kurangnya Pendidikan masyarakat Gayo Lues.
Sebab kedua ini sangat mempengaruhi pemahaman masyarakat terhadap stunting, pasalnya masyarakat masih tidak mengetahui apa bahayanya stunting untuk pertumbuhan jangka panjang anak. Ketiga, kondisi masyarakat dari segi pemenuhan kebutuhan makanan dan gizi masih tidak seimbang (jauh dari hidup sehat). Misalnya saja, masyarakat Gayo Lues kurang sekali dalam mengkonsumsi daging. Hal ini juga di sebabkan karena didaerah Gayo Lues sangat susah untuk mendapatkan bahan makanan salah satunya seperti daging dan pola konsumsi masyarakat yang masih tidak seimbang.
Pada program pencegahan stunting di Gayo Lues sebernarnya sudah berjalan seperti semestinya. Bahkan Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues juga sudah menggelar pelatihan orientasi Kader Pembangunan Manusia (KPM) untuk mengatasi stunting.
Kepala Dinas Kesehatan Gayo Lues, Ridussalihin, SKM., mengatakan PKM adalah kader masyarakat yang terpilih memiliki kepedulian dan bersedia mendedikasikan diri untuk ikut berperan dalam pembangunan desa. Kegiatan ini terutama dalam monitoring dan fasilitasi konvergensi penurunan stunting, memgaja partisipasi masyarakat dan Lembaga dalam proses perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan.
Terlepas dari sebab tingginya kasus stunting di Gayo Lues, ada beberpaa hal yang menjadi kemungkinan penyebab belum efektifnya kebijakan serta program intervensi Stunting yang ada. Kebijakan dan regulasi terkait intervensi stunting belum maksimal dijadikan landasan penanganan stunting, seperti belum maksimalnya fungsi alokasi anggaran Kesehatan.
Program-program intervensi stunting belum seluruhnya dilaksanakan dan Pengetahuan serta kapasitas pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menangani stunting perlu ditingkatkan.