Lihat ke Halaman Asli

Suyono Darul

Seorang Instruktur Kursus Komputer

Hikmah Dibalik Tidak Lulus UN

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa hari ini saya merasa sangat miris, semua station Televisi mempertontonkan sebuah drama sakit hati dan ketidak puasan para siswa yang tak lulus Ujian Nasional. Bukan apa, menurut saja itu sebuah hal yang wajar tapi tidak patut untuk dilakukan. Wajarnya adalah karena saya merasa kekecewaan yang dirasakan siswa yang tidak lulus itu karena kita, orang tua, guru dan kultur pendidikan kita belum mampu memberikan alasan yang masuk akal mengapa mereka (anak didik kita) tidak lulus. Anak kita hanya dijelaskan bahwa “kalau kamu tidak lulus karena kamu malas belajar” itu benar tapi tidak bijaksana, sebab di masyarakat kita, termasuk guru, orang tua dan element lainya masih memahami bahwa tidak lulus UN adalah sebuah kegagalan si murid dan hal tersebut sama dengan gagal dalam hidup ini. Mereka cenderung menanggung malu dengan semua orang, kita belum mampu menjelaskan bahwa tidak lulus bukan bencana, bukan kegagalan. Dan bukan kebodohan. Dan kita tidak bisa menjelaskan bahwa tidak lulus UN adalah biasa dan bukan masalah besar.

Coba kita sedikit menelaah tentang jalan hidup ini, betapa dalam kehidupan kita sering kali menemui kegagalan demi kegagalan, namun kita terus bisa melewatinya, karena kita yakin itu hanya perjalanan yang harus, pantas dan memang patut dilewati. Sebab terlalu banyak nikmat yang kita tidak mampu membacanya disitu.

Hikmah Pertama : dengan tingginya tingkat ketidak lulusan UN tahun ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan UN kita sudah beranjak baik, itu positif sekali. Dibanding tahun lalu yang masih banyak diwarnai kecuranga-kecurangan dalam pelaksanaan.

Hikmah Kedua, dengan tidak lulus ujian tahun ini, siswa banyak belajar tentang makna kegagalan dalam hidup ini, bahwa hidup ini tidak selalu berhasil, siswa belajar rendah hati, dan bersikap lapang dada menerima kegagalan. Itu bagus. Sebab kita kadang tanpa sadar selalu menyimpan sifat superioritas dalam hidup ini, memandang hidup ini harus selalu pada posisi menang kalah, bukan itu masalahnya. Sebab orang yang hebat bukan orang yang tidak pernah gagal, tetapi orang hebat adalah orang gagal dan dia kemudian bangkit dari kegagalanya.

Ini masalah mental yang terbangun sejak awal, dimana pendidikan kita hanya berorentasi pada nilai, intelegensia dan kemampuan verbal, bukan pada kematangan emosional dan spiritual. Sebab penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang pintar secara Integensia setelah dewasanya belum tentu sukses dalam hidupnya, dan justru anak-anak yang pernah gagal dan biasa-biasa saja prestasinya yang mampu sukses di kehidupan masa depannya.

Hal ini menujukkan bahwa, manusia memang butuh kegagalan untuk kematangan hidupnya dan dengan kegagalan itu manusia tersebut jauh lebih bijaksana dibanding orang yang tidak pernah gagal.

Jadi tugas kita saat ini adalah, menjelaskan kepada anak-anak kita bahwa, UN bukanlah standar nilai yang membuat mereka dianggap pantas untuk sukses dan berhasil dimasa depan, tetapi menjelaskan bahwa UN merupakan syarat mereka untu dianggap pantas mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Memang terkesan njelimet, namun ini merupakan seni mengkomunikasikan konsep, bagaimana memanusiakan pendidikan bagi peserta didiknya. Sebab bila tidak, kita akan selalu melihat dan menonton hal yang sama di tahun-tahun kedepan, dimana bayak murid yang frustasi, mengamuk, traumatis bahkan bunuh diri karena tak mampu menjelaskan pada diri mereka sendiri mengapa mereka gagal, mengapa mereka harus menerima kegagalan ini dan itu tugas kita orang dewasa memahamkan pada mereka tentang makna kegagalan dan makna berjuangan dalam hidup ini.

Terakhir mengutip kata-kata pakar pendidikan Indonesia Prof. Arif Rahman, ”Gagal dalam UN ibarat kita kalah dalam satu pertempuran, dan itu bukan menggambarkan kita Kalah dalam peperangan, sebab masih akan banyak lagi pertempuran pertempuran lain yang menghantarkan kita untuk memenangkan peperangan yang sesungguhnya, yaitu hidup ini”.

blog penulis : http://soeyoeno.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline