Cerpen | Prof.DR. Sulaeman Badil, Tersungkur di Ujung Sunset
DikToko
(Soetiyastoko)
Di depan warung makan sederhana yang berada di pinggir jalan berdebu, tampak seorang lelaki tua duduk termenung. Sesekali terbatuk.
Wajahnya yang keriput mengisyaratkan betapa banyak beban hidup yang ia pikul. Namanya Sulaeman Badil, sosok yang dahulu terpandang sebagai dosen di sebuah universitas ternama di kota itu.
Tahun-tahun berlalu, dan semua yang ia banggakan telah lama sirna, terkikis oleh keegoisan dan kesalahan-kesalahan yang tak bisa di benarkan, bahkan oleh dirinya sendiri.
Langit senja di atas warung makan itu begitu indah, penuh dengan warna oranye dan merah yang membakar cakrawala. Namun, kontras dengan pemandangan yang menakjubkan itu, suasana hati Prof. DR Sulaeman Badil, penuh dengan kesedihan.
Pikiran Sulaeman kembali ke masa-masa ketika ia masih jelang berusia 35 tahun, gagah-suka yang enak-enak, dan baru saja kehilangan istri pertamanya. Meninggal saat operasi sesar anak bungsunya.
Tiga anaknya yang masih kecil ditinggalkannya begitu saja, seolah mereka bukanlah bagian dari hidupnya lagi.
Ketika itu, ia jatuh cinta---atau mungkin sekadar terjerat oleh hasrat---pada seorang janda, kenalan supirnya.
Janda tersebut memiliki dua anak laki-laki dari mantan suaminya, seorang perwira polisi yang desersi. Janda itu memiliki daya tarik yang kuat, yang membuat Sulaeman tanpa ragu menjual rumahnya sendiri demi merenovasi rumah wanita itu. Ia bahkan melunasi kredit mobilnya, mengurus semua keperluan anak-anak tirinya. Sementara mengabaikan kewajiban terhadap darah dagingnya sendiri.
Ketiga anak kandungnya diserahkan kepada mertuanya. Janda itu keberatan berbagi kasih dengan mereka, dan Sulaeman lebih memilih menyenangkan hati wanita itu ketimbang memikirkan masa depan anak-anaknya. Ia hanya ingin mengejar kebahagiaan yang fana, yang dalam benaknya saat itu sebagai lelaki muda, terasa begitu mutlak dan mendesak.