SosBud | Obrolan Warung Ro-Pang
Soetiyastoko
Masih terbayang masa-masa kuliah, tinggal di rumah petak. Kontrak tahunan, satu kamar mandi untuk ramai-ramai. Bergantian.
Tempat itu perkampungan, rumah-rumah diselingi sawah, kolam ikan, pekarangan pohon pisang dan buah-buahan lainnya. Penduduknya ramah dan saling kenal. Itu dulu, hampir 50 tahun yang lalu.
Suatu ketika, musim penghujan terlambat datang. Air di dasar sumur, jadi tak cukup untuk keperluan MCK, mandi-cuci- kakus. Hanya bisa untuk minum.
Tukang gali sumur, panen pekerjaan. Sibuk gali sana-sini, sumur kami tak kunjung dikerjakan.
Didesak kebutuhan bersama, kami tiba-tiba merasa bisa dan kuat memperdalam sumur. Ternyata di dalam sana, awalnya terasa dingin, lama-lama jadi pengap dan panas.
Tapi rasa gengsi dan solidaritas, terbukti menguatkan diri, terus mengujamkan linggis. Demi air bisa tersedia lagi. Bergantian menggali.
Cerita-ku ini, pagi itu tak ada yang menyela. Pengunjung Warung saat itu hanya tiga orang dan tua-tua. Mungkin karena masih pagi, hanya pensiunan yang cari penanggap atau pendongeng yang sudah nongkrong. Tapi yang datang itu bukan Pak Albert dan Bang Iwan, kawanku.
***
Air sumur itu, jangankan untuk mandi, ... Untuk memenuhi syarat sembayang pun tak cukup. Kami tak punya air untuk berwudhu. Hanya bisa mengisi panci dan teko. Direbus untuk minum.