Oleh Soetiyastoko
Mempekerjakan orang di sebuah keluarga, hingga kini dipandang sebagai penanda kesuksesan finansial. Sekaligus menaikan status sosial keluarga tersebut.
"Dia orang kaya, ...punya babu, punya pembantu, punya asisten rumah tangga". Adalah sekedar sebutan yang "dihaluskan" berganti baju. Maknanya sama.
Apalagi jika orang kaya itu, mampu mempekerjakan banyak orang untuk berbagai jenis urusan keluarga. Pekerjaan mencuci dan membereskan rumah satu orang. Memasak dan belanja, tersendiri. Ngurus dan jaga anak. Tukang kebun mengurusi taman. Adalagi, sopir dan pengurus hewan peliharaan.
Bila sudah sebanyak itu yang dipekerjakan sebuah keluarga. Tentu keluarga tersebut, pendapatannya sudah amat besar. Kaya raya.
Tidak ada yang salah dan sah-sah saja mempekerjakan orang, untuk tugas domestik. Syukur, bila memberi gaji yang memadai, minimal sesuai standar upah minimum regional /UMR. Disamping memperhatikan maksimal jam kerja harian dan memberi waktu istirahat.
Termasuk hak untuk libur, seminggu minimal 1 hari.
Itu kondisi yang tidak berlebihan, ideal dan pantas.
Namun apakah kenyataannya banyak majikan yang memperlakukan pembantu seperti itu, atau justru amat jarang ?
Pekerja domestik beruntung jika mendapatkan majikan punya rasa empati dan memperlakukannya secara manusiawi. Termasuk tenggang rasa.
Majikan beruntung jika mendapatkan pembantu atau asisten rumah tangga yang pintar, rajin, jekatan, jujur, .... Mau dibayar murah.