Lihat ke Halaman Asli

Buat Apa Sih Meributkan Kerudung...

Diperbarui: 4 April 2017   17:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada masa sekarang bermunculan banyak fonemena tentang jilbab (kerudung) khususnya pada kalangan remaja dan pelajar.Banyak opini yang terlontar mengenai perlu atau penting dan tidaknya sebuah kerudung bagi kaum hawa. Memang perlu pendalaman yang lebih untuk mengkaji hal ini. Sering terjadi pro dan kontra mengenai hal dalam pemakaian jilbab (kerudung) dikalangan perempuan. Dikalangan perempuan pun masih terjadi gejolak dengan berbagai pertanyaan untuk apa sih memakai kerudung?,,apa harus seorang wanita memakai kerudung?. Mungkin karna hal demikian sedikit saya akan mengupas tentang peranan jilbab (kerudung) pada seorang perempuan khusunya umat muslim, saya menyali dari buku karangan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya yang berjudul "Tuhan Tidak Perlu Dibela", yang mengambil topik Kerudung Dan Kesadaran Beragama.

Kerudung adalah pemandangan biasa di kalangan kaum muslim yang taat beragama. Tidak semua wanita muslim yang dikenal dengan sebutan muslimat, mengenakannya. Namun porsi pemakaianya cukup besar guna melekatkan predikat "biasa" diatas. Ke pasar, masjid, maupun pesta dan upacara, pendeknya kesemua keperluan di luar rumah kerudung selalu dipakai. Begitu juga dirumah , kalau sedang ada tamu.

Ada yang warna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah, ada juga yang polos, hanya pinggiranya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai untuk menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang hanya disangkutkan saja pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata ke seluruh sanggul yang memahkotai kepala. Apalagi kalau sanggul di "disasak" lebar-lebar dengan diameter tidak kurang dari ban skuter Vspa atau Bajaj!. Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas, tidak berani meninggalkan diri sebagai muslimat, tapi enggan disebut kampungan.

Tidak disangka tidak dinanya, penggunaan kerudung dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.

Padahal tadinya masalah penggunaan kerudungdianggap masalah sepele saja. yang masih kuat bertahan pada identitas "kesantrian" terus memakainya, yang sudah tidak merasa perlu sudah tentu meninggalkanya. Juga ada peragu yang menggunakanya di atas bahu waktu ada pesta dan upacara.
ketika seorang anutan yang dianggap
Apa gerangan yang membuat pemakai kerudung menjadi masalah peka, padahal sekian lama ia "dibiarkan" pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan kaum muslimat.

Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini, simbol tersebut, simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan simbol "kekampungan" bagi yang tidak mengenakanya, hidup berdampingan secara damai. Masing-masing berkembang di dunianya sendiri, bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet dan kompleks. Tidak ada pertentangan terbuka, tidak pernah didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau diseminarkan.

Masalahnya menjadi berbeda , ketika berkembang sebuah kesadaran barudi kalangan remaja muslim. Mereka adalah generasi yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah,  ketiaka seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh untuk merumuskan "kebenaran agama" memerintahkan remaja asuhanya untuk memelihar "aurat" berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran ini diikuti, termasuk oleh siswa SMA lalu mengenakan kerudung di lingkunagan sekolah. Sudah tentu "pemandangan" tidak biasa, jauh dari kebiasaan berseragam sekolah tanpa tutp kepala sama sekali.

Dua hal "dilanggar" oleh perbuatan itu. Pertama "konsensus" selama ini, yang juga tiadak didasari dahulu, bahwa kerudung bukanya yang "layak"untuk siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecendungan pada uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk "ditegakan" oleh lingkungan pendidikan kita. Dari pesuruh sampai Menteri P dan K, besar sekali kelihatanya untuk menyeragamkan pandangan, sikap ,dan perilaku " keluarga besar pendidikan nasional".

Sudah tentu "konsesus" dan kecenderunagnya di atas segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa sisiwi SMA yang menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu Dapat diterka senjata utama, yang digunakan pihak pimpina sekolah adalah "pelanggaran disiplin". Benar saja, atas dlih itu sang siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.

Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara pihak "penegak disiplin" dan pihak-pihak lain diluar. Berarti didalam kasus-kasus dimana ada kejelasan bahwa si"pelaggar disiplin" memang bersalah atas persetujuan universal semua pihak.

Kesulitanya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandungbaru-baru ini. Lalu disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan atas diri "siswi berkerudung" itu. Pelanggaran hak pribadi siswi untuk mengenakan pakaian yang disenaginya tuduhan pimpinan sekolahan bersikap "memusuhi Islam" dan lain-lain tuduhan lagi, semua dilemparkan seenaknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline