Ayah baru pulang dari Irian. Ia membawa dua ekor burung Nuri. Aku kasihan melihat dua ekor burung Nuri itu di dalam sangkar yang tidak ada kebebasan sama sekali, terpenjara. Kalau aku jadi mereka, bagaimana sakit hatiku pada manusia? Lalu aku melepaskan dua ekor burung Nuri itu yang di bawa ayah jauh-jauh dari Irian. Aku lepaskan dua ekor burung Nuri itu. dua ekor burung Nuri itu akhirnya bisa bebas dari sangkar terpenjara itu. terbang asik di atas angin. Tapi aku perhatikan lagi baik-baik. Wajah mereka tidak begitu bahagia. Mereka masih dengan wajah seperti berada di dalam sangkar. Entahlah…
Berselang beberapa jam kemudian. Ayah tahu kalau dua ekor burung Nuri itu sudah aku lepaskan dari sangkar. Ibu yang memberitahu ayah kalau aku yang melepaskan burung-burung itu dari sangkarnya. Waktu aku melepaskan burung-burung itu, ada ibu yang melihatku. Tapi dia tidak berkata apa-apa padaku. Dia juga tidak memarahiku atau menegurku dan melarangku. Jadi aku santai saja melepaskan dua ekor burung Nuri itu dari sangkarnya. Ayah kemudian marah-marah, dan mencariku kemana-mana. Tapi ayah tidak menemukan aku. Selesai melepaskan dua ekor burung Nuri itu, aku langsung ke pantai di ujung kampung dan mandi-mandi di laut dengan perahu kecil bersama teman-teman sekolah.
Dan ketika aku pulang ke rumah, ayah sedang duduk di ruang tamu. Dia ternyata sedang menunggu aku pulang dari tempat bermain. Wajahnya menakutkan sekali. Memang dia sudah emosi sekali dan sangat marah padaku. Aku tidak jadi lewat pintu depan rumah. Aku putar dan masuk lewat pintu belakang. Ayah sudah tahu kalau aku sudah pulang. Setelah aku masuk di dapur, aku menemui ibu sedang memasak air di tungku. Ibu menegurku.
“Kamu sudah bertemu ayah? Dia mencarimu.”
“Belum.”
“Sana temui ayahmu dulu. Kamu darimana?”
“Dari laut, mandi-mandi dengan perahu.”
“Ya sudah… Kamu sana temui ayahmu. Dia sudah lama menunggumu di ruang tamu.”
“Iya Bu…”
“Sudah sana…”
“Iya…”