Diawal tahun 2017 ini masyarakat pernah dikejutkan dengan pemberitaan yang berisi tentang Kejaksaan Negeri (Kejari) Gunungkidul, Yogyakarta menetapkan Kepala Desa Bunder, Kecamatan Patuk, Kabul Santosa, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Anggaran Belanja dan Pendapatan Desa (ABPDes) Bunder. Tentu saja ini menjadi tamparan keras bagi pelaksanaan dana desa. Dari kasus ini terlihat nyata bahwa Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Kabupaten Masih Sangat rendah.
Amanat dari Undang -- Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pengawasan jalannya pemerintahan desa. Pemerintah Kabupaten jangan hanya berkutat pada persoalan teknis semata, tetapi juga harus memperkuat pencegahan dini korupsi di kalangan pemerintah desa. Pemerintah Kabupaten bisa mengajak aparat penegak hukum di tingkat Kabupaten untuk mencegah korupsi di desa sedini mungkin.
Padahal, sejak 2015 sudah ada Memorandum of Understanding (MoU) antara Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) yang diwakili oleh Ketua Umum Buyung Suhardi dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ketua Umum Mardani H Maming. MoU ini belum terlaksana dengan baik. Dengan mengacu pada UU Desa dan MoU APDESI dan APKASI, APDESI harus membuka diri untuk bekerjasama dengan APKASI melakukan kerja - kerja bareng di bidang pencegahan korupsi.
Sebagai bagian dari upaya pencegahan, saatnya kini masyarakat desa harus mengetahui siklus pengelolaan keuangan desa termasuk proses penyusunan APBDes. Ada banyak ruang untuk partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan APBDes. Partisipasi masyarakat pun harus terinstitusi dengan baik, misalnya ada peraturan desa (perdes) tentang partisipasi masyarakat.
Memasuki awal Agustus 2017, publik kembali dikejutkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para elite politik dan hukum itu ditangkap karena terkait kasus suap penggunaan dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Saatnya Kementerian Dalam Negeri melakukan evaluasi total terhadap tugas pemerintah kabupaten dalam pengelolaan dana desa.
Jangan-jangan praktik dugaan korupsi seperti di Pamekasan sesungguhnya juga terjadi di Pemerintah Kabupaten lainnya di Indonesia. Akibatnya, kepala desa menjadi korban dan tersandera oleh kebijakan bupati yang terlampau jauh mengintervensi pemerintahan desa. Alih-alih melakukan tugas pembinaan dan pengawasan, pemkab di bawah bupati malah menjadikan dana desa sebagai ladang baru korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sejak penangkapan Bupati, Kajari dan seorang Kepala Desa di Kabupaten Pamekasan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT), berbagai persoalan korupsi dana desa di propinsi lainnya perlahan mulai terkuak. Bahkan dalam talk show di Kompastv, seorang pejabat KPK mengusulkan 2 persen dana desa digunakan untuk pengawasan. Lebih parah lagi, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengusulkan Pemerintah untuk menghentikan dana Desa tahun 2018.
Penulis menyatakan tidak sependapat dengan usulan KPK dan ICW tersebut. Menurutnya, dana Desa harus jalan terus dengan berbagai catatan. Pertama, Dana Desa adalah legacy Presiden Jokowi yang sudah tertuang dalam Nawacita. Kedua, dalam konteks pengawasan dana desa, Pemerintah sebaiknya membuat anggaran tersendiri untuk pengawasan, jangan mengambil dari dana desa. Penulis mengusulkan untuk memperkuat inspektorat di tingkat Pemerintah provinsi sebagai Wakil Pemerintah pusat di Daerah. Hanya saja, harus disiapkan terlebih dahulu payung hukumnya. Di tingkat Kabupaten, Pemkab harus melibatkan civil society organization (CSO).
Pengawasan dana desa tidak akan berjalan dengan baik sepanjang koordinasi antar Kementerian dan lembaga belum berjalan maksimal. Budaya birokrasi kementerian dan lembaga masih ego sektoral. Tidak ada institutional driven yang mampu mengorkestrasi dan memimpin jalannya pengawasan dana desa.
Pengawasan dana Desa tanpa diikuti peningkatan kapasitas aparatur desa akan sia-sia. Penulis justru mempertanyakan pendamping desa yang sejauh ini belum berdampak baik pada peningkatan kapasitas aparatur desa di Bidang tata kelola pemerintahan desa. Kita akui bahwa Pemerintah kesulitan anggaran untuk peningkatan kapasitas yang anggarannya memang belum memadai. Pemerintah memang sudah melatih aparatur desa tetapi belum maksimal karena anggaran yang terbatas.
Karena itu penulis mengusulkan Pemerintah harus mendorong peningkatan kapasitas aparatur desa dibiayai dari anggaran Dana Desa. 70 persen Dana Desa untuk pembangunan, pemberdayaan dan belanja pengadaan barang dan jasa. Sisanya 30 persen untuk belanja aparatur yang juga dapat dialokasikan untuk program peningkatan kapasitas aparatur desa. Pemerintah harus mendorong hal ini terealisasi mengingatkan akan ada kenaikan jumlah dana desa tahun depan.