Setiap pertandingan pasti ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Setiap kompetisi akan melahirkan pemenang dan pecundang. Tidak terkecuali dengan perhelatan Pemilu Legislatif 2014 kali ini. Kompetisi antar parpol dan caleg yang digelar setiap 5 tahun ini selalu saja menghadirkan banyak cerita. Bagi pemenang, tentu saja cerita indah yang tersaji. Bagi yang kalah atau perolehan suaranya tidak sesuai ekspektasi, maka raut kekecewaan yang mendominasi. Menariknya, kemenangan dan kekalahan tidak melulu terkait dengan diri sendiri. Ada harapan pula yang terbentang terhadap pihak luar. Meski partai kita menang, belum tentu kita bahagia. Kenapa? Karena mungkin lawan-lawan kita ternyata juga menorehkan hasil bagus yang tidak sesuai harapan kita. Itulah pemilu 2014.
Lembaga-lembaga survey
Jika ada pihak yang paling banyak ter-bully setelah pemilu ini kelar, maka pihak itu adalah lembaga-lembaga survey. Walaupun bukan merupakan kontestan pileg yang langsung berkompetisi, namun keberadaan lembaga survey menjadikan kompetisi menjadi semakin menarik. Sejatinya, survey-survey yang dirilis oleh berbagai lembaga adalah untuk menjadi sumber referensi atas strategi yang akan dilakukan. Namun, terkadang banyak juga survey yang dilakukan demi untuk menjadi alat penekan psikologi massa. Siapa yang tidak tertekan begitu membaca hasil survey yang menyatakan bahwa PKS tidak akan lolos ke Senayan? Dari survey-survey yang dilakukan sebelum pileg dihelat, sebagian besar survey meletakkan PKS pada angka 2%-an dan itu berarti PKS tidak akan lolos Parliamentary Treshold (PT).
Namun, hasil pileg ternyata berbicara lain. Dengan meyakinkan, PKS mampu menjungkirbalikkan semua survey itu. Angka di kisaran 7% menjadi modal PKS untuk kembali mengangkat wajahnya di belantara perpolitikan Indonesia. Yang tersisa adalah lembaga-lembaga survey plus hasil-hasil survey-nya yang telah menjadi usang. Maka, jadilah lembaga survey menjadi pihak ter-bully pertama pasca pileg 2014 ini.
Tidak hanya PKS. Hasil-hasil survey yang dilakukan sebelum pileg telah menempatkan beberapa partai tidak mencapai PT. Ada PAN, Hanura dan PPP. Namun, faktanya adalah ke-3 partai itu berhasil menempatkan caleg-calegnya ke Senayan.
Tak cukup sampai di situ, fenomena Jokowi Effect yang menurut sebagian besar lembaga survey yang mendongkrak perolehan suara PDIP ke angka >30%-an menjadi alasan pem-bully-an selanjutnya. Faktanya adalah efek luar biasa seorang Jokowi ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap kenaikan suara PDIP. Lagi-lagi lembaga survey gagal membuktikan akurasi hasil yang dimilikinya.
Karena itulah, menjadi sangat beralasan jika lembaga-lembaga survey menjadi pihak yang paling ter-bully setelah pileg ini digelar. Tidak perlu bingung untuk mencari alasan atas ketidaktepatan hasil yang telah dipresentasikan itu. Yang perlu dilakukan oleh lembaga survey sekarang adalah melakukan evaluasi atas metode yang dilakukan selama penelitian dilangsungkan. Pelajaran lain adalah janganlah mendewa-dewakan hasil survey. Biar bagaimanapun, survey tetaplah hanya survey yang dipengaruhi oleh banyak sekali variabel bebas.
@PartaiSocmed dan akun sejenis
Saya memasukkan akun twitter @PartaiSocmed dan akun-akun sejenis sebagai pihak yang paling ter-bully selanjutnya setelah mengamati dunia twitter. Lagi-lagi ini terkait dengan masalah kesalahan prediksi. Dan lagi-lagi objek yang diprediksi adalah PKS. Dalam sebuah cuitannya, akun ini berkicau "Kalau PKS lolos PT 3.5% kami TUTUP AKUN." Kira-kira begitu cuitan yang diudarakan oleh akun ini.
Alhasil, setelah pileg selesai dihelat dan PKS berhasil melewati PT, maka tinggallah @PartaiSocmed dengan janjinya dulu itu. Sampai saat ini, akun ini masih belum menutup akunnya. Bisa ditebak, akun ini menjadi sasaran "penagihan" janji oleh banyak akun atas kecerobohannya ini.
Tidak sampai di situ, akun ini juga dikenal dengan supportnya kepada sosok Jokowi. Mungkin karena berdasarkan survey-survey, akun ini pula yang sangat getol memprediksikan dan percaya diri bahwa Jokowi nanti akan membantu PDIP untuk meraih suara >30% di pileg. Namun, fakta berbicara lain. PDIP ternyata hanya meraup suara sebesar 19%-an.