Lihat ke Halaman Asli

Immanuel Satya

Terjebak di rumah

Refleksi Singkat, Politik Abai

Diperbarui: 18 Januari 2019   22:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Debat Perdana Pemilihan Umum 2019 (KOMPAS/Heru Sri Kumoro)

Persaingan menuju Pemilihan Presiden pada bulan April mendatang sangat membosankan. Ide dan gagasan yang ditawarkan sangat membosankan. Tidak ada gebrakan baru dalam ide dan rencana kebijakan dalam debat perdana Kamis (17/1) lalu. 

Bagi saya, tidak ada optimisme yang disemai dalam ajang debat kemarin. Wujud dari kompetisi tersebut memang ada, tetapi tidak ada semangat dan arah kompetisi yang jelas dari pemilihan umum tahun ini.

Salah satu penyebabnya, menurut pendapat saya, adalah ketiadaan kompetisi yang sehat. Kedua pasangan calon yang bersaing memutuskan sejak awal untuk menjadikan panggung perlombaan sebagai guyonan. Persaingan yang muncul hanya berupa adu ejek dan tebar isu. Sebuah budaya rendahan yang mengaburkan tujuan mulia politik. 

Buntutnya, tidak ada insentif bagi kedua pasangan untuk benar-benar memformulasikan gagasan yang dapat dijual, rencana dan arah kerja yang bisa dipilih oleh para pemegang hak suara. Sumber suara masing-masing pasangan calon terkesan hanya bersumber dari kebencian dan sikap antipati terhadap pasangan calon lainnya.

Kini, muncul celah besar di antara pendukung kedua kubu yang saling mencaci-maki kubu lawannya, yaitu golongan orang-orang yang muak dengan nihilnya kemajuan budaya politik Indonesia. Anda mencari bukti? Kemunculan dan meledaknya popularitas pasangan capres-cawapres fiktif nomor urut 10, Nurhadi-Aldo, menjadi bukti yang cukup memuaskan bagi saya. 

Lelucon satir dan kasar secara terbuka yang diterima dengan baik oleh masyarakat luas mencerminkan seberapa muak golongan ini terhadap perpolitikan Indonesia. Saya masuk dalam golongan ini.

Tulisan ini ingin mengangkat sebuah pandangan yang melihat bahwa insan politik Indonesia telah abai terhadap tujuan mulia politik, dan menjadikan institusi negara sebagai wadah pemuas nafsu para megalomania. 

Politisi kita menggunakan kata 'konstituen' seakan-akan mereka pernah membangun sebuah relasi kerja yang mapan dengan masyarakat yang diwakilkan. Kini, giliran para konstituen yang melawan balik dengan mengolok-olok dunia politik Indonesia melalui wadah Nurhadi-Aldo dengan ejekan dan hinaan frontal, sebuah upaya untuk menampar dan membuka mata politisi kita terhadap realita.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline