Lihat ke Halaman Asli

Immanuel Satya

Terjebak di rumah

Indonesia Fobia Matematika

Diperbarui: 5 Maret 2018   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tumbuh kembang sebuah negara dapat dilihat dari penguasaan teknologi dan pengetahuannya. Indonesia, sebagai sebuah negara berkembang, tentu saja mengejar penguasaan teknologi yang dapat diaplikasikan untuk mendukung pertumbuhan dan pengembangan taraf hidup warga negaranya. 

Indonesia saat ini tengah berjuang menggenjot laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik. Berbagai teknologi tengah diaplikasikan agar proyek bisa berjalan dengan waktu sesingkat-singkatnya dengan skema biaya yang paling efisien. Namun, apakah dunia akademik kita sudah sepenuhnya mendukung arah gerak bangsa ini?

STEM atau singkatan populer dari science, technology, engineering, and mathematics menjadi rumpun ilmu yang menjadi sorotan selama beberapa waktu terakhir. Rumpun ilmu ini dianggap krusial untuk mendukung tumbuh kembang teknologi dan pengetahuan aplikatif. Penguasaan Indonesia dalam rumpun ilmu ini masih menjadi sebuah pertanyaan besar. Demikian pula kemudian kemampuan Indonesia untuk bisa berpartisipasi atau berkontribusi secara aktif dalam pengembangan teknologi yang sudah ada. Namun dalam tulisan ini, saya akan memfokuskan diri pada pembahasan salah satu cabang ilmu yang paling mendasar, yaitu matematika.

Ketidaksukaan terhadap matematika bukanlah hal yang asing. Bahkan, sudah muncul sebuah istilah bernama arithmophobia, yaitu rasa takut secara umum terhadap angka. Hal tersebut terbukti ketika saya berkunjung ke salah satu sekolah menengah atas (SMA) beberapa waktu lalu. 

Saya yang kala itu bertugas untuk mensosialisasikan kehidupan perguruan tinggi menemukan hal serupa yang pernah saya alami ketika saya sendiri duduk di bangku SMA. Hal tersebut hadir dalam rupa, "apakah di jurusan itu ada mata kuliah yang pakai hitung-hitungan?" Para siswa SMA tersebut jelas-jelas sangat ingin menyudahi hubungan mereka dengan ilmu yang mengandung matematika. Banyak dari pelajar Indonesia yang masih (sebisa mungkin) menghindari pelajaran matematika.

Saya sendiri adalah seorang mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi. Motivasi saya memilih program studi tersebut adalah menganggap bahwa program studi tersebut tidak akan banyak berkecimpung dengan matematika. Salah besar. Namun demikian, seiring dengan perjalanan kuliah saya, saya semakin sadar bahwa matematika memegang peranan penting dalam ilmu pengetahuan apapun. Saya garis bawahi, apapun.

Mater scientiarum memang ilmu filsafat. Akan tetapi, matematika juga menjadi dasar dari segala ilmu pengetahuan modern, entah itu fisika, kimia, biologi, ekonomi, psikologi, dan sebagainya. Saya tidak bermaksud mengesampingkan ilmu sosial yang berdasar pada metode kualitatif, tetapi perkembangan ilmu pengetahuan semakin menuntut keakuratan dan kejelasan seiring berjalannya waktu, dan disitulah kuantifikasi mendapat tempat penting. 

Era keilmuan modern saat ini juga melihat bagaimana matematika dapat menjadi bahasa tersendiri yang mampu menyederhanakan logika bahasa menjadi sebuah persamaan yang mampu menjelaskan hubungan antar variabelnya. Tanpa menggunakan majas hiperbolik, matematika menjadi dasar pijakan bagi building block ilmu pengetahuan dan teknologi modern saat ini.

Perkara yang sebenarnya adalah, "siapa atau apa yang salah ketika matematika begitu dihindari?" Apakah salah sistem pendidikan kita? Apakah salah guru-guru kita yang tidak mampu memotivasi dan menciptakan cara belajar yang menyenangkan? Apakah salah buku teks yang tidak mampu menjelaskan ilmu secara gamblang namun sederhana? Atau malah, salah dari siswa tersebut yang tidak punya budaya baca yang kuat padahal sumber daya sudah berlimpah? 

Saya takut bahwa masalah ini menjadi sebuah lingkaran setan yang menghambat tumbuh kembang khazanah ilmu pengetahuan Indonesia di masa-masa mendatang. Tulisan ini tidak menghasilkan solusi (tanpa bermaksud memberikan harapan palsu), tetapi saya berharap masalah yang diangkat dalam tulisan ini dapat membangkitkan kembali perhatian masyarakat terhadap aspek IPTEK dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline