Manusia terlahir dengan akal budi. Tahu mana yang benar, tahu mana yang salah. Tapi, terkadang akal budi manusia terganti dengan insting hewani. Mementingkan nikmat pribadi terdahulu tanpa memikirkan orang lain. Ya, mungkin kita bisa maklum jikalau tindakannya tidak berdampak negatif didalam dimensi sosial tempat ia berada. Namun, apa jadinya jika ia seorang pengemban amanah rakyat? Perpanjangan lidah rakyat, si pengemban tugas mulia yang hidupnya disambung oleh rakyat banyak, jadi korup karena terlena nikmatnya harta dunia.
Ya, tentu kita tahu siapa dia.
Kenapa saya tulis kritik ini? Bukankah kritik ini sama dengan kritik anggota masyarakat lainnya? Saya tidak dalam posisi untuk menyalahkan, apalagi memaki. Saya berusaha membaca keadaan dan membagikan sedikit pemikiran saya, entah itu yang berupa pendapat maupun pertanyaan.
Kalau kita bicara parlemen, bisa jadi kita juga membicarakan sekumpulan orang cerdas yang tahu bagaimana mengatur negara, yang tahu caranya mengemban amanah serta memenuhi ekspektasi para pemilihnya. Orang-orang itu terlihat seperti sekelompok manusia paling berbudaya di republik ini. Namun begitu, realita yang kita lihat di berita seringkali berbeda dengan harapan kita. Ketika kita lihat mereka tersangkut berbagai macam kasus (utamanya korupsi), mereka seperti orang-orang yang tidak punya rasa malu, tidak punya tanggung jawab, dan tidak paham mengenai nilai dan norma yang ada di masyarakat. Mereka sekumpulan orang dengan pendidikan yang tidak main-main kualitasnya.
Apakah politik transaksional yang menyebabkan hal ini? Apakah godaan kekayaan yang menyebabkan hal ini? Kenapa kleptokrasi bisa tumbuh subur? Bukankah kita masyarakat timur yang menjunjung tinggi budaya sopan dan martabat diri? Kenapa bisa jadi seperti ini? Alasan internalkah yang mendorong mereka melakukan kejahatan semacam itu? Ataukah dorongan dari luar yang mendorong mereka? Apakah sistem pendidikan kita tidak cukup kuat menanamkan budaya tanggung jawab? Jangan-jangan keluarga Indonesia yang masih belum paham bagaimana membekali anak dengan nilai dan budaya positif kita sebelum dilepas kedalam masyarakat?
Kita punya banyak pertanyaan, tapi solusi belum dapat ditemukan. Kompleksitas kehidupan politisi menjadi labirin tanpa ujung buat kita telusuri. Tapi, bukankah kita selalu mendukung mereka yang bekerja dengan sepenuh hati untuk mewakili kita?
Kenapa kita harus memilih di pemilihan umum kalau kita tidak kenal orangnya? Bisa jadi ini salah kita memasukkan orang yang tidak jelas kualitasnya ke parlemen. Kampanye politik kini hanya jadi ajang setor muka dan sawer uang. Tapi, kita belum tentu bisa kenal dekat dengan si calon. Bagaimana kita bisa tahu kalau dia seorang pemalas? Bagaimana kita bisa tahu kalau ternyata dibalik gelar-gelar pendidikannya, ia seseorang dengan budaya mencontek garis keras? Ya, cuma Tuhan yang tahu pasti.
Lalu, katanya kita sebagai rakyat menjadi pengawas bagi para politisi parlemen. Suara kita juga berharga diluar bilik pemilihan. Kritik kita menekan mereka, dan kita diharapkan agar bersuara ketika mereka tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Mereka kan perpanjangan lidah kita, maka adalah hak kita untuk menyuarakan kepada mereka tentang apa yang kita inginkan. Pajak anda adalah gaji mereka. Mereka, politisi, adalah pekerja anda, juga abdi anda. Kalau kita ingin makmur, sudah tugas mereka untuk merealisasikannya. Kalau mereka mau makmur sendiri, copot saja.
Suarakan, karena diam tidak merubah keadaan.