Jalanan Jakarta sempat terasa lengang dan tenang. Situasi jalanan begini sebelumnya cuma pernah kulihat di kota-kota kecil di Aceh, atau di Kalimantan dan Sulawesi. Tidak banyak kendaraan bermotor yang wara-wiri. Kalaupun ada yang membedakan, jalanan Jakarta tidak dikuasai sapi atau babi yang acap bermain di jalanan saat kebetulan sepi.
Bahkan saat aku berjemur di lapangan dekat rumah, membawa perasaan seolah sedang berjemur di pantai-pantai Indonesia Timur yang pernah kujelajahi.
Rasa dari sinar matahari yang menyentuh kulit terasa berbeda dari sebelumnya. Tidak ada perasaan lengket dan kotor seperti yang sering terasa di saat berkeringat di bawah matahari.
Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Sebab cuma bisa dirasakan di awal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta baru diterapkan. Itu juga bertepatan dengan akhir pekan dan liburan.
Begitu mulai memasuki hari Senin, ndilalah, jalanan tetap saja kembali ramai. Kendaraan bermotor kembali membakar langit Jakarta dengan asap-asapnya.
Tak bisa dimungkiri, asap-asap kendaraan punya andil besar atas kualitas udara Jakarta hingga acap masuk dalam kategori tidak sehat. Indeks kualitas udara di atas 155--bahkan pernah mencapai 166 menurut AirVisual.
Terlepas kita semua membutuhkan alat transportasi, namun dalam kasus polusi di Jakarta, kendaraan bermotor paling banyak andil. Dari semua pemicu paling berpengaruh terhadap kualitas udara Jakarta, transportasi darat mencatat 75 persen, atau paling besar jika dibandingkan pemicu lainnya.
Infografis dari Katadata ini cukup menunjukkan dari mana saja pengaruh terhadap kualitas udara di Jakarta.
Artinya, kalaupun ada pengaruh dari pembakaran industri, ternyata hanya 8 persen, sama dengan pembakaran domestik. Sedangkan pemicu lainnya seperti pembangkit listrik atau PLTU hanya 9 persen.