Berapa saja suara didapatkan, maka yang satu harus dinyatakan kalah, dan yang lainnya mesti dinyatakan sebagai pemenang! Ya, kira-kira begitulah pesan Rizieq Shihab dari perantauan, baru-baru ini.
Kesan apa yang tertangkap dari sini? Ya, ada pihak-pihak yang merasa dirinya atau kelompoknya berada di atas negara. Atau, memang secara sadar mendudukkan diri di atas negara dan konstitusi yang menjadi acuan setiap gerak sebuah negara.
Menarik. Pasalnya, pemandangan ini bikin kita tercenung. Walaupun ini juga tak bisa dikatakan asing, karena narasi yang selama ini dikembangkan kalangan garis keras memang memiliki aroma yang kurang lebih dapat dikatakan sama.
Mereka menilai Indonesia adalah negara yang tidak menganut teokrasi, atau secara sederhana, bukan negara yang menjadikan satu agama saja sebagai acuan. Negara seperti itu di mata mereka adalah negara thoghut dan menentang negara semacam ini dianggap sebagai hal yang wajar. Bahkan lebih ekstrem lagi, menaati negara yang tidak berhukum pada hukum Tuhan maka adalah sebuah dosa.
Jadilah negara tidak dianggap sebagai sesuatu yang berharga, yang mesti dihormati segala aturan yang ada di dalamnya. Sebab, mereka meletakkan negara seperti ini setara dengan sesuatu yang mereka najiskan.
Kembali pada kenapa bisa muncul seperti narasi dimainkan oleh Rizieq Shihab, pun tak lepas dari paradigma dan pola pikir yang terbangun dan mereka pegang kuat. Di masa lalu, jika Anda mengulik buku-buku seputar Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pun lahir dari rahim pemahaman serupa.
Bagi mereka, menentang negara yang tidak mengikuti "aturan Tuhan" maka itu adalah sesuatu yang berpahala.
Itu juga yang menjadi pemahaman yang berkembang di kalangan teroris. Mereka menempatkan dirinya sebagai wakil Tuhan. Mereka adalah pelaksana dari keinginan-keinginan Tuhan. Dan, Tuhan dalam bayangan mereka adalah sosok yang penuh kemarahan yang tidak dapat menerima perbedaan.
Padahal kalau direnungi lagi, kok bisa Tuhan yang Mahakaya, Dia Maha Pencipta, tapi malah marah dengan hasil karya-Nya sendiri? Sementara Dia sendiri memang menciptakan makhluk dengan berbagai macam bentuk, bermacam species, bermacam ordo, sebagai simbol bahwa keberagaman adalah bagian dari hasil pekerjaan-Nya sendiri.
Merujuk pandangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dapat dikatakan bahwa kelompok yang menganut pemahaman seperti Rizieq adalah kelompok yang terjebak dalam interpretasi mereka sendiri, tanpa melihat riilnya.
Menurut Gus Dur, kata "daulah" sebagaimana yang selama ini gencar mereka gaungkan, untuk menunjukkan negara yang berhukum dengan hukum Tuhan, justru tidak ada dalam kitab suci umat Islam, Alquran. Ada kata yang mirip yakni dalam surat Al Hasr, "duulatan" namun kata ini lebih mengarah pada definisi sebagai "berputar" atau "beredar".