Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Usai Pilpres, Semoga Jubah Tidak Beraroma Darah

Diperbarui: 11 Mei 2019   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Kumparan

Bagi masyarakat muslim, ulama adalah sekelompok orang yang sangat dihormati. Sebab, dari merekalah umat mencari petunjuk, dari bagaimana berpikir hingga seperti apa harus bertindak.

Sayangnya, belakangan, ada segelintir orang mengatasnamakan ulama, alih-alih membuat umat muslim menjadi lebih baik, justru larut dalam pikiran-pikiran antagonistik, keinginan bermusuhan, hingga keinginan perang.

Narasi-narasi yang berbau pembunuhan semakin leluasa dipamerkan mereka yang mengaku sebagai "pembela ulama". Setidaknya, ini juga yang berseliweran di berbagai media massa.

Maka itu juga, di dinding facebook saya sendiri, saya sebutkan contoh seorang tokoh yang dianggap ulama, Yusuf Martak. Ia beruntung karena memiliki nama dan wajah berbau Timur Tengah. Sebab, di negeri ini, siapa saja yang berasal dari sana, tampaknya mampu bikin nalar dan akal sehat penduduk di sini pun pasrah. Enggan bekerja.

Parahnya lagi, keinginan-keinginan berbau darah itu muncul hanya dari obrolan-obrolan yang berbau politik. Ringkasnya, mereka yang mengaku pembela ulama, akan siap untuk menumpahkan darah, membunuh atau terbunuh, hanya gara-gara pilihan politik.

Sesekali bisalah Anda coba stalking dengan kata kunci, misalnya, Pilpres 2019. Di sanalah mereka memunculkan kesan-kesan yang jelas-jelas mengancam kedamaian dan keutuhan negeri ini. Di sanalah mereka berusaha menciptakan kesan seolah pemandangan penuh darah adalah pemandangan yang sangat mengundang gairah.

Bedebah! Inilah kata yang membuncah di pikiran saya. 

Sebab, hanya gara-gara politik, tampaknya ada golongan yang tak peduli jika kelak anak-anak negeri ini bersimbah darah. Mereka merasa sudah dapat jaminan kelak disambut Tuhan dengan senyuman hanya karena ke mana-mana rajin mengenakan jubah, meskipun isi pikiran mereka lebih banyak beraroma sampah.

Mereka menularkan rasa gelisah. Apakah negeri ini akan tetap "berpesta" setelah pesta demokrasi, atau harus berpesta di atas darah. Narasi mereka tampilkan cenderung mengarah ke arah aroma darah dan perang secara meriah.

Rasa gelisah itu juga dirasakan oleh banyak intelektual di negeri ini yang masih mengedepankan rasio dan menimbang berbagai risiko jika agama dijual untuk kepentingan politik.

Abdul Wahid, pengamat komunikasi politik dari Fisip Universitas Brawijaya, Malang, melansir BBC News Indonesia juga melontarkan kegelisahan senada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline