Sampai hari ini persoalan politik yang dikait-kaitkan dengan agama memang masih berembus kencang. Jika diibaratkan badai, siapa saja akhirnya hanya dapat menyesuaikan diri dengan tren itu daripada terempas dan terlempar.
Harian Kompas, Sabtu 13 Oktober 2018, merilis sebuah opini menarik bertajuk: "Politik Identitas dan Resesi Demokrasi." Di antara sisi yang dibidik di artikel itu tidak jauh-jauh dari pemandangan yang juga terpampang di Indonesia sendiri.
Di artikel yang dituliskan Eko Sulistyo tersebut disebutkan, sekitar separuh (49,3 persen) populasi dunia hidup dalam suasana demokratis meski hanya 4,5 persen yang mengalami "demokrasi penuh", turun dari 8,9 persen di 2015.
Bahkan negara seperti Amerika Serikat turun peringkat dari "demokrasi penuh" ke dalam "demokrasi cacat" pada 2016. Sekitar sepertiga dari populasi dunia masih di bawah rezim otoriter, seperti China.
Tak hanya itu, ada catatan dikutip artikel itu, bahwa 76 dari 167 negara atau 45,5 persen dapat disebut negara demokrasi. Jumlah negara demokrasi penuh tinggal 19, sama dengan 2016.
Potret disinggung di artikel itu memang menyorot persoalan realitas politik identitas dan bagaimana pemandangan itu melanda negara-negara yang buruk secara demokrasi, atau bahkan punya catatan demokrasi yang bagus.
Itu disinggung dalam bahasan tentang apa yang disebut sebagai politik tradisional. Menurut Eko Sulistyo, tidak cukup menjelaskan manifestasi politik identitas dalam bentuk "politik kebencian". Namun seorang pemimpin politik memobilisasi pengikutnya di sekitar persepsi bahwa martabat kelompok telah diremehkan dan diabaikan. Dalam hal ini, menurutnya, nasionalisme dan agama tidak akan hilang sebagai kekuatan politik dunia.
Menurut penulis tersebut, sebuah negara yang merasa diremehkan akan membuahkan nasionalisme agresif, demikian juga para penganut agama yang merasa imannya direndahkan akan menjadi agresif.
Dibawa ke pemandangan di Tanah Air, tampaknya pemetaan seperti itu cukup memperlihatkan bagaimana budaya berpolitik yang pernah sangat mengemuka akhir-akhir ini. Basuki Tjahaja Purnama terpental dari pertarungan politik, menjadi salah satu bukti dari bagaimana pengaruh kuat politik identitas.
Sosok Joko Widodo dapat dikatakan sebagai figur yang mampu menghadapi badai itu dengan tepat. Ia tidak mengikuti ke mana angin melemparnya, tapi menyesuaikan diri dengan arah angin hingga badai tadi.
Terlebih lagi karena ia memang dengan mudah dapat menunjukkan bahwa dari kecilnya pun memang tak terpisahkan dengan keislaman. Selain juga bisa membuktikan bahwa keislaman di matanya bukanlah cara beragama yang mementingkan diri sendiri atau kalangan sendiri.