Rachmini Rachman atau yang terkenal sebagai Mien R. Uno memang nama yang cukup tenar. Apalagi, di masa lalu, saat TVRI masih menjadi satu-satunya stasiun TV di Indonesia, ia sudah terkenal sebagai pengasuh acara "Dunia Wanita" dan "Lembaga Konsumen" hingga namanya akrab dengan generasi Baby Boomers.
Nama ibunda Sandiaga Uno tersebut dapat dikatakan mampu menyalip nama Razif Halik Uno atau Henk Uno yang tak lain adalah suaminya sendiri. Saking begitu tenarnya sosok Mien Uno, karena kepiawaiannya mengaktualisasikan diri, sekaligus menjadi pusat perhatian banyak orang.
Di sisi lain, dari pamor dimiliki oleh sosok Mien Uno ini juga, dapat dikatakan bahwa keluarga ini adalah keluarga elite. Bahkan Globe Asia pernah menobatkannya sebagai salah satu wanita berpengaruh di Indonesia.
Maka itu, saat beberapa waktu lalu heboh tagar #SandiwaraUno, dan Mien Uno tampil mencak-mencak di depan pers, seketika menghebohkan publik dan bahkan jadi perbincangan luas di media sosial.
Satu sisi dapat dimaklumi, bahwa ini adalah reaksi seorang ibu karena melihat sang anak bungsu, Sandi, jadi sasaran ledekan lewat tagar #SandiwaraUno tersebut. Ada perasaan tidak rela, ketika si bungsu tersebut dirasa olehnya direndahkan banyak orang.
Tak ayal, ia melayangkan kecaman keras di depan pers. "Saya ingin berhadapan dengan orang itu untuk mengatakan apa yang dilakukan adalah sesuatu yang memang benar terjadi," Senin lalu, (11/2/2019). "Kalau ada orang yang mengatakan itu Sandiwara Uno, dia harus minta maaf kepada ibunya yang melahirkan dan mendidik Mas Sandi dengan segenap tenaga untuk menjadi orang yang baik. Siapa yang mau berhadapan dengan saya sebagai ibunya?"
Kalimat-kalimat tersebut cukup menyiratkan kegusaran besar yang dirasakan oleh Mien Uno. Namun di sisi lain, juga tercium ketidakrelaan sang ibu atas pilihan anak bungsunya tersebut berkecimpung di dunia politik.
Mien Uno seolah menegaskan bahwa Sandi belum cukup dapat dipercaya untuk mampu melindungi diri. Belum cukup bisa untuk dilepas begitu saja, menjadi seorang lelaki sebenarnya, menghadapi realitas hidup dengan kaki dan pikiran sendiri, dan berjibaku dengan tangan sendiri.
Mengaitkan dengan realitas Pilpres 2019, ini dapat saja menjadi bumerang serius. Sebab ranah politik tentu saja bukan wilayah perasaan. Ia adalah medan pertarungan, karena acap menghadapkan orang pada dua pemandangan lazim antara kawan atau lawan. Di sini, Sandi sang anak bungsu tadi jadi terkesan lemah, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, dan bisa jadi oleh ibunya sendiri pun tak dipercaya.
Sebab, dengan pilihan sikap sang ibu untuk campur tangan di tengah gelombang besar pertarungan politik, memang menguatkan kesan bahwa ia tidak menemukan alasan dan bukti kuat bahwa anaknya akan sanggup menghadapi realitas politik tersebut. Ini bisa memunculkan anggapan publik, bagaimana kelak ia bisa mengurus rakyat se-Indonesia yang berpenduduk lebih dari 200 juta, jika untuk mengurus diri saja dia belum sepenuhnya bisa.
Memang, jika berusaha memaklumi, ada pandangan lama yang menyebut bahwa seorang anak, entah dia sudah berusia berapa saja, sudah menjadi apa pun, bagi seorang ibu ia tetaplah seorang anak-anak.