Di antara berbagai platform, Kompasiana menjadi salah satu platform paling menarik perhatian. Jika awalnya hanya jadi tempat wartawan Kompas "melarikan" artikel yang tidak dimuat di sana, kini sudah memiliki penulis dari mana saja, dan pembaca dari mana-mana.
Ada penulis di Kompasiana yang masih gadis, ada yang masih perjaka, ada bekas perjaka, dan ada yang ditinggalkan mantan tanpa bekas kecuali hanya beberapa foto lama. Ada juga penulis Kompasiana, masih pusing mikir, lebih enak sendiri atau menikah saja, ya? Atau, ada juga yang diam-diam meratapi, kenapa aku tidak menikah dari dulu saja?
Eh, ini bercanda. Setelahnya ini barulah kita bercanda lebih serius.
Ya, tulisan Anda dapat saja dibaca oleh lurah, bupati, hingga presiden. Pikiran-pikiran Anda dapat saja sampai ke depan para pengambil kebijakan di berbagai perusahaan hingga pemerintahan.
Bagaimana di tahun politik?
Kompasianer--sebutan untuk penulis Kompasiana--dapat dipastikan akan terpecah-pecah atau tepatnya terbagi berdasarkan minat masing-masing.
Akan ada sebagian yang menolak memasuki arus deras perbincangan politik. Akan ada juga yang terjun total ke dalam kawah candradimuka politik. Tidak masalah.
Masalahnya mungkin hanya bagi para admin Kompasiana sendiri. Sebab, saya pribadi juga menyimak bagaimana berat hatinya mereka untuk memastikan sebuah artikel layak lolos atau "disikat" dalam arti dihapus sama sekali.
Sebab mau tidak mau, di tengah kencangnya perbincangan seputar politik, memang tak dapat dielak bahwa para Kompasianer sebagian di antaranya, akan tetap memiliki keberpihakan, dan berterus terang dengan keberpihakan mereka. Termasuk saya, tentunya.
Di sini, bahwa pihak Kompasiana harus menjaga nama perusahaan dan "keselamatan" Kompasiana sendiri, mudah-mudahan saja tetap dapat arif menyikapi realitas tersebut. Artinya, "dapur" Kompasiana tetap hidup, namun kebebasan berekspresi para Kompasianer--sepanjang tidak berbau SARA dan hal-hal yang menyalahi aturan--sebaiknya dibiarkan saja.
Kata kuncinya pada kebebasan berekspresi.