Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Jika Prabowo adalah Donald Trump

Diperbarui: 18 Oktober 2018   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi Prabowo, sosok Trump dapat saja menjadi ilham - Gbr: Tribunnews.com

Bukan hal aneh jika seorang Prabowo Subianto memiliki kekaguman kepada sosok Donald Trump. Orang nomor satu di Amerika Serikat itu memang punya beberapa kemiripan dengan Trump, terlepas ada fakta bahwa Prabowo berlatar belakang serdadu, namun ia dengan Trump sama-sama berangkat ke dunia politik dengan kesamaan di titik lainnya: sebagai pengusaha dan bertarung di usia terbilang sepuh.

Ya, tepat 17 Oktober kemarin, Prabowo baru saja merayakan ulang tahun ke-67. Angka ini cukup membuatnya pantas disebut sepuh. Sedangkan Trump saat ini berusia 72 tahun, dan saat bertarung di kontestasi pemilihan presiden di AS pun hanya selisih beberapa tahun dibandingkan Prabowo saat ini.

Sebagai manusia, meskipun Prabowo berlatar belakang militer, kenyang asam garam dunia serdadu, tetap saja ia sendiri memang membutuhkan model. Trump dapat menjadi salah satu model baginya, bagaimana di usia yang disebut sepuh pun masih punya potensi bertarung, masih kuat bersaing, dan ia menunjukkan kemampuan membawa pengaruh kepada publik "Negeri Paman Sam" untuk memilihnya.

Ini tentu saja menjadi catatan penting bagi Prabowo yang belakangan pun secara terbuka sempat mengakui--dengan bahasa saya--tak penting soal benar atau tidak, tetapi dalam persaingan yang penting adalah menang atau tidak.

Sedikitnya, filosofi yang blak-blakan dikemukakan Prabowo itu cukup menunjukkan bagaimana dia sebagai seorang militer sekaligus pengusaha melihat pentingnya sebuah kemenangan. Filsafat tempur dapat dipastikan sangat dikuasainya. 

Inilah yang menjadi tantangan bagi petahana di mana Joko Widodo yang relatif lebih muda (57 tahun), atau 10 tahun di bawah Prabowo, harus menghadapi seorang yang memang tak dapat diremehkan kemampuan strateginya. Bahwa di Pilpres lalu Prabowo kalah, pastilah ia tak mau dirinya dilempar peribahasa bahwa keledai saja takkan mau jatuh dua kali di lubang yang sama.

Ketidaksudian Prabowo mengalami kekalahan dua kali inilah yang membuat kemenangan Trump di AS, yang juga ditandai dengan jargon Makes America Great Again, secara mentah-mentah dijadikan model oleh Prabowo. 

Bukti terdekatnya, bagaimana ia menjiplak jargon Trump menjadi Makes Indonesia Great Again, hingga bagaimana secara masif memainkan isu-isu yang mudah menyulut emosi publik.

Isu Ratna Sarumpaet, terlepas masih dalam penyelidikan pihak Polri, cukup terlihat sebagai pengejawantahan strategi bahwa terpenting adalah menang, bukan bagaimana memikirkan benar atau tidak. Bahwa kemudian Ratna harus menjadi tumbal karena propaganda yang memantik emosi publik karena "ibu-ibu tua dianiaya" gagal berjalan karena dengan mudah terkuak sebagai pembohongan publik (hoaks), itu sudah menjadi bagian dari risiko.

Namun terkait kasus Ratna bolehlah kita sedikit berbaik sangka, bahwa itu bukanlah drama yang sudah diatur sedemikian rupa meskipun melibatkan langsung orang yang memang ahli dalam urusan teater dan drama. 

Namun setidaknya, dari bagaimana Prabowo tidak menggubris mana yang harus didahulukan dalam merespons sebuah kejadian, memang terlihat jelas bahwa ia memang membutuhkan amunisi untuk membakar emosi publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline