Indonesia dengan Inggris pernah menjadi dua negara yang paling diincar oleh Hizbut Tahrir. Di mata mereka, kedua negara itulah yang memberikan ruang lebih leluasa untuk mereka hidup, bergerak, dan berkembang. Di Indonesia sendiri, mereka mengindonesiakan diri dengan melekatkan nama negara ini pada nama partai mereka hingga menjadi Hizbut Tahrir Indonesia.
Mereka berhasil. Setidaknya mereka berhasil mencitrakan diri sebagai sebuah gerakan yang memperjuangkan Islam, dan mampu meyakini banyak orang bahwa mereka ada dan bergerak semata-mata untuk memperjuangkan dienullah (agama Allah).
Di sisi lain, ada ganjalan yang terdapat di organisasi ini hingga mereka pun menuai sorotan, terutama dari kalangan intelektual yang memahami sejarah pergerakan di berbagai belahan dunia. Mereka mencium gelagat, ada usaha internasionalisasi yang sedang digerakkan oleh organisasi tersebut. Itulah yang kemudian dan digaungkan, hingga belakangan penolakan terhadap HTI mulai menyeruak, hingga pemerintah pun menutup pintu untuk organisasi ini.
Ada persoalan, sebagian kalangan politik justru menjadikan terjegalnya langkah HTI di negeri ini menjadi jalan bagi mereka mengembuskan hasutan hingga agitasi bahwa pemerintah membenci Islam, dan pemerintah membungkam kekuatan Islam.
Di tingkat akar rumput hasutan hingga agitasi itu lumayan mendapatkan tempat. Bahkan tidak sedikit yang--jika ditilik mendalam--begitu meyakini bahwa HTI adalah organisasi Islam, dan membenci organisasi ini sama artinya membenci Islam.
Di sinilah HTI bisa dikatakan berhasil. Sebab mereka mampu membawa pengaruh hingga ke elite politik negeri ini sendiri. Terbukti, ada banyak elite politik yang memperlihatkan sikap kompromis dengan mereka, dan menunjukkan sikap bersahabat terhadap organisasi ini.
Sikap elite politik yang kompromistis terhadap HTI sekilas memang dapat terasa sebagai sekadar sebuah langkah politik saja. Sebab jika mereka menunjukkan simpati terhadap organisasi ini, maka publik awam dan garis keras bisa teryakinkan bahwa elite-elite tersebut memang memiliki keberpihakan terhadap Islam.
Inilah yang belakangan menjadi sebuah narasi: bahwa berpihak terhadap HTI berarti berpihak terhadap Islam, dan menolak HTI berarti menolak Islam. Di sinilah pekerjaan pemerintah menjadi rumit, karena langkah mereka mengadang HTI yang sejatinya justru untuk menjaga negeri ini sendiri agar terbuka untuk semua anak bangsa dari agama dan suku bangsa apa saja, tersandung oleh elite-elite politik di luar pemerintah.
Ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Smith Al Hadar, pengamat Timur Tengah, bahwa HTI memang memiliki ciri tersendiri dalam memanfaatkan kesempatan. HTI yang memang memiliki cita-cita memperjuangkan khilafah, akan memanfaatkan perseteruan elite politik di sebuah negara untuk memuluskan rencana mereka.
Smith, melansir BBC.com (19 Juli 2017), mencontohkan dengan yang terjadi di negara-negara Arab sendiri. Menurutnya, di Arab, Hizbut Tahrir memanfaatkan oposisi sampai dengan militer agar bisa mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang berkuasa. Mereka akan melakukan kolaborasi dengan kedua unsur partai politik hingga militer dan mereka sendiri akan menjadi ujung tombak pemerintahan baru.
Beruntungnya di Arab, menurut Smith, karena di sana sudah mulai semakin menguatnya nasionalisme. Ketika nasionalisme menguat, maka langkah Hizbut Tahrir akan tersendat atau bahkan berhenti sama sekali.