Jika ditanya mana lebih menarik antara uang atau agama, kemungkinan akan banyak menghindar untuk menjawabnya. Namun jika melihat riilnya, uang tetap jauh lebih menarik. Setidaknya itu juga tergambar dari kasus terdekat, ketika sekelompok orang mengatasnamakan ulama merekomendasikan beberapa nama untuk diangkat sebagai calon wakil presiden, namun salah satu calon presiden justru memilih nama lain: Sandiaga Uno.
Di sini Prabowo Subianto sebagai salah satu capres yang lagi-lagi akan berkontestasi pada Pilpres 2019 menunjukkan kehebatannya. Ya, bagaimana tidak dikatakan hebat, jika dengan pengingkarannya terhadap rekomendasi ulama, namun ulama-ulama tadi tetap tidak beranjak dari sekelilingnya. Ia bisa membuat ulama-ulama tadi tetap tak bisa lepas darinya meskipun mereka sempat menunjukkan perasaan sakit hati.
Di sini juga Sandi menunjukkan kehebatannya. Dengan reputasi dimilikinya sebagai pengusaha, dengan kekayaan yang sudah diketahui umum, tak terusik meskipun ada beberapa ulama yang mengaku tersinggung saat Prabowo justru memilihnya alih-alih menerima rekomendasi mereka. Sandi tetap tidak tergoyahkan, dan belakangan dinyatakan resmi sebagai pasangan Prabowo yang akan berlaga di Pilpres tahun depan.
Unik. Sebab ulama-ulama yang tadinya mengaku tersinggung, akhirnya tak kuasa menolak kehadiran Sandi.
Apakah itu semata-mata karena alasan uang yang dimiliki oleh Sandi? Belum tentu benar juga. Namun hampir menjadi kebenaran bahwa uang bisa meluluhkan apa saja, melumpuhkan apa pun, menundukkan siapa pun.
Hampir menjadi kebenaran, karena di tengah meraksasanya setan pada lembaran-lembaran uang, masih terdengar cerita sayup tentang pribadi-pribadi tangguh yang masih mementingkan mimpi-mimpi yang berada di atas uang.
Apakah dengan keberadaan Erick Thohir di kubu Joko Widodo bukan sebagai petunjuk bahwa kedua kubu yang akan bertarung di Pilpres nanti sama saja? Toh, mereka sama-sama memainkan dua senjata andalan: agama dan juga uang. Ulama dan pengusaha.
Di atas kertas, begitulah adanya. Bahwa politik memang membutuhkan logistik, dan logistik cenderung membantu memuluskan segala taktik. Ibarat sepak bola, pertandingan normalnya, tak hanya satu kubu saja yang memainkan kiper sementara kubu lainnya merasa tidak membutuhkan kiper.
Pertanyaannya, kan, apakah kedua kubu sudah memilih kiper, gelandang, hingga penyerang dengan tepat? Sebab, ketika seorang pesepak bola bermain, ia tidak hanya melayani klub, pemilik klub, jersey dikenakan, tapi juga barisan pendukung yang sebagian bisa dipastikan tidak mereka kenal, namun pasti hafal semua lakon mereka di lapangan.
Di sini, katakanlah Erick mewakili kebutuhan satu kubu terhadap kehadiran seorang taipan, dapat ditelusuri apakah dia semata-mata mewakili "klub" dikuasainya (baca: perusahaan-perusahaan yang dia punya), atau masih mau melihat lebih jauh lagi sehingga bersedia berada di barisan suatu kubu politik.
Saya pribadi menjadi salah satu yang masih meyakini, sosok seperti Erick Thohir berada di salah satu kubu memiliki tujuan yang jauh dari sekadar yang bisa diraba pengamat, analis, atau siapa pun. Diibaratkan kapten satu klub sepak bola, dia adalah kapten yang sudah mengantarkan satu tim meraih trofi yang membanggakan segenap suporter (bangsa Indonesia) lewat Asian Games 2018.