Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Antara Rupiah dan Oposisi Bermental Lemah

Diperbarui: 7 September 2018   21:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rupiah - (Foto: Tribunnews.com)

Salah satu keberhasilan Soeharto yang masih meninggalkan jejak hingga kini adalah berhasil memainkan ketakutan hingga dapat berkuasa lama. Hari ini, keberhasilan Soeharto tersebut masih bertahan. Namun kali ini bukan lagi dimainkan oleh penguasa, melainkan sudah dimainkan oleh  oposisi. Teranyar, ini paling terasa ketika rupiah hanya berjarak satu poin menuju Rp 15 ribu.

Ketakutan apa yang ditebarkan, tidak lain adalah ketakutan bahwa Indonesia akan terpuruk, tersuruk, dan tenggelam dalam situasi terburuk. Di sinilah oposisi bermain, dengan menebar ketakutan ke mana-mana.

Buktinya, ada bekas presiden partai sekaligus bekas menteri, hanya karena harga telur sempat melonjak sejenak, ia berstatemen bahwa untuk makan telur pun tidak berani. Sebagai masyarakat biasa, sehari-hari masih bisa makan apa saja yang diinginkan, saya sempat tercenung: apakah sudah terlalu miskinkah bekas presiden partai itu?

Tentunya ia tidak miskin. Dia pastilah jauh lebih kaya daripada saya. Kalaupun menyebutnya miskin, hanya persoalan mental saja. Mental miskin seperti ini tidak selalu menjadi milik orang-orang yang benar-benar miskin secara materi, tapi juga menimpa mereka yang berharta melimpah, namun miskin rasa terima kasih.

Mental miskin seperti ini tentu saja lebih berbahaya daripada miskin harta. Sebab yang miskin secara harta, hanya perlu bekerja apa saja yang ia bisa, setidaknya ia sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lha, pengemis saja masih dapat hidup, apalagi yang benar-benar mau bekerja.

Persoalannya adalah mental miskin seperti dipertontonkan bekas presiden partai tadi. Karena ia telah dianggap sebagai tokoh, dipandang sebagai salah satu pemuka agama, maka mental tadi tidak sedikit orang meyakininya sebagai sesuatu yang wajar, pantas, dan masuk akal. Hasilnya, apakah orang yang melihat mental itu sebagai kebenaran kemudian bisa menemukan jalan yang benar untuk hidup lebih baik? Boro-boro. 

Pola pikir begitu hanya mampu menumbuhkan ketakutan pada kemiskinan, namun takkan membantu siapa pun untuk tidak terjerat oleh kemiskinan. Tidak percaya? Silakan saja Anda imani mental seperti diperlihatkan bekas menteri tadi, dan catat saja bagaimana hasilnya.

Sebab jika mengikuti jejak mental seperti itu, bagi yang setajir bekas presiden partai sekaligus bekas menteri tadi, memang sekilas takkan terlalu membahayakan dirinya. Masalahnya, bagaimana jika yang sehari-hari harus bertarung di jalanan, bersaing ketat karena tidak ada warisan, kemudian harus menghadapi seabrek tantangan dengan mental serupa bekas menteri tadi? Sama saja bunuh diri.

Alasannya jelas, mental miskin hanya menjadi magnet untuk memunculkan pola pikir dan kesadaran yang mengundang kemiskinan paling akut terjadi. Kemiskinan paling akut tentu saja bukan hanya tidak akan punya duit, tak punya rupiah atau dolar, tapi juga sudah miskin harta kemudian juga miskin pemikiran dan kesadaran.

Kok bisa menyimpulkan begitu, Mas? Maklum, saya juga terbiasa miskin. Kantong mengering itu bukan rahasia baru. Namun, saya menjadi bagian manusia yang memilih tidak membiarkan mental menjadi miskin, dan pikiran pun miskin. Maka kenapa, jika menemukan orang-orang hebat dan terkenal seperti bekas menteri tadi, saya jadi merasa ingin sombong, karena sekaya dia untuk makan telur pun jadi takut.

Beruntunglah orang tadi hanya menjadi bekas menteri. Jadi, kalaupun ia menebar ketakutan, pastilah ketakutan itu hanya akan terlokalisasi di kalangannya sendiri. Lagian, mereka ini, saya hafal sekali, sering sekali mengeluarkan berbagai hal yang hanya berlaku untuk "kalangan sendiri".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline