Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Hujan Teror dan Pilihan Menjadi Muslim Moderat

Diperbarui: 16 Mei 2018   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Acara diskusi Cegah dan Perangi Aksi Teroris di Gedung Kemenkominfo - Foto: Zulfikar Akbar

Hari Selasa. Tepat kalender menunjuk pertengahan bulan Mei 2018, saya memenuhi undangan wawancara dengan media ternama Amerika Serikat, The New York Times. 

Di sana, Raymond Zhong, jurnalis di media tersebut banyak menanyakan seputar fenomena yang belakangan menyeruak di Indonesia; dari kecenderungan menguatnya Islam garis keras sampai dengan pengaruh media sosial terhadap publik.

Dalam  bincang-bincang itu, saya lebih banyak mengangkat tentang andil media sosial sampai dengan figur publik yang selama ini, entah sengaja atau tidak, justru mengarah pada sikap membenarkan dan bahkan meyakinkan kalangan garis keras untuk bekerja.

Gembira. Lantaran kesempatan saya menyuarakan kondisi di Indonesia mendapatkan tempat di media sekelas NY Times. Dalam bayangan saya, dengan ini bisa menjadi pesan pada dunia, bahwa kedamaian bukanlah mimpi jika satu sama lain tidak saling menzalimi, terlepas apa saja perbedaan latar belakang agama, ideologi, suku, dan sebagainya.

Bahwa dalam sudut pandang pribadi saya cenderung menolak merebaknya pemikiran ala fundamentalis, saya pikir memang merupakan hal yang krusial. Sebab dari yang saya cermati, kalangan fundamentalis getol menebarkan pemikiran yang menjurus pada pembenaran sikap-sikap inferior namun di sisi lain menempatkan diri di atas pemeluk agama lain.

Kecintaan pada agama yang dianut, dalam hemat saya setelah melewati perjalanan dan pergumulan dialektika, membawa pada kesimpulan bahwa semestinya--kecintaan pada agama tadi--memang bisa ditransformasikan pada kecintaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa apa saja agama yang dianut siapa saja, bukanlah sebuah masalah, bukanlah persoalan yang harus dibentur-benturkan. 

Itu juga yang saya suarakan sepanjang wawancara dengan NY Times. 

Benar. Ada kegelisahan yang berkecamuk pada diri saya, keberadaan umat Islam sebagai mayoritas yang semestinya menjadi suatu nilai plus, tapi justru dipelintir hingga disetir sekelompok orang yang gemar menutupi jiwa fasis dan egois lewat baju agama.

Itulah yang membuat saya sekaligus menjadi pemberontak. Dalam arti, saya pribadi acap melempar kritikan kepada tokoh-tokoh yang terlanjur dipersepsikan sebagai tokoh Muslim, namun justru hanya mengasah sisi emosi umat, namun nihil iktikad untuk membantu agar nalar umat pun terasah.

Kalau saja sisi emosi dan nalar bisa terasah secara seimbang, nilai-nilai Islam takkan berdampak seperti terjadinya terorisme dan sejenisnya. Sebab keseimbangan itu justru membuat umat Muslim terlatih melihat, berpikir, dan bertindak, yang lebih mengarah pada perbaikan, kebaikan, dan kultur yang lebih baik.

Disayangkan sekali, banyak tokoh Muslim di negeri ini yang mendapatkan panggung besar untuk berbicara di mana-mana, diundang berbagai televisi, berbicara di banyak tempat, namun hanya menularkan pikiran yang membuat umat Muslim menjadi korban, terzalimi, perasaan terancam, sampai kecurigaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline