Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Menyalakan Nalar Kala Mesin Kendaraan Nyala

Diperbarui: 6 Februari 2018   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernapasan kita dan empati kita sebagai pengendara seperti apa? Foto: Lampost.co

Satu tempat yang pastinya paling sering dikunjungi setiap pengendara adalah tempat pengisian bahan bakar. Tempat yang acap dikenal sebagai stasiun pengisian bahan bakar umum alias SPBU tak pelak telah menjadi kebutuhan bagi semua pengendara. Bukan hal mengherankan jika di hampir semua SPBU hampir tak ada yang benar-benar sepi bahkan hingga malam hari.

Kecenderungan pengunjung tempat pengisian bahan bakar manapun, yang acap berkelebat di benak kita adalah; berapa jumlah bahan bakar ingin diisi hingga berapa jumlah yang harus dibayar. Usai tangki terisi, bahkan kita tak ingat lagi siapa petugas yang tadi telah memasukkan corong pengisian ke tangki.

Apa yang mau disampaikan ke sini adalah kecenderungan kebanyakan kita emang sudah begini. Tak ingin merepotkan diri harus mencari tahu sesuatu yang lebih jauh, hingga sebagian pengendara acap tak peduli berapa jumlah oktan ideal dari bahan bakar yang harus mereka isi di tangki hampir saban hari.

Padahal jika kita mau sedikit "sok serius", tabiat tiap pengendara di tempat pengisian bensin berpengaruh ke mana-mana. Entah satu tempat akhirnya memiliki pasokan bahan bakar lebih banyak dari yang lain, atau bahkan hingga satu daerah menghabiskan bahan bakar jauh di atas daerah lainnya. Seperti juga ada negara yang "memakan" bahan bakar melampaui seluruh negara yang ada di dunia.

Apa perlunya menaruh kepedulian pada urusan itu? Sederhana, di sekitar kita saja, ketika bahan bakar naik beberapa ribu rupiah saja, maka berjuta orang akan ribut. Jadi, jangan remehkan urusan tabiat di SPBU. Padahal jika saja kita mau peduli, di negeri ini ada banyak daerah yang masuk kategori 3T (terluar, terdepan, tertinggal), yang bahkan tak leluasa mendapatkan bahan bakar.

Maaf saja, Jakarta yang terbilang mendapatkan pasokan bahan bakar berlimpah, terkadang jauh lebih ribut dibandingkan daerah yang kesulitan mendapatkannya. Ribut-ribut di sini tentu saja lebih sering yang berhubungan dengan harga, kala di daerah 3T disebut tadi, mampu membeli mahal pun sulit untuk mencari tempat di mana mereka bisa membeli.

Tiap hari bahan bakar kita habiskan tanpa merasa berdosa - Foto: tribunnews.com

Itu memang menjadi realita, lantaran di Jakarta diuntungkan berbagai kelebihan sarana-prasarana. Jadi sepanjang masih ada banyak bakar di induknya, sepanjang itu juga bahan bakar datang dengan cepat. Sementara di sebagian daerah, terlepas negara masih punya bahan bakar memadai untuk disalurkan pun acap terbentur dengan sulitnya mengakses lokasi yang memiliki medan yang rumit.

Itu hanya contoh kecil. Sementara jika melihat lebih jauh, tabiat di SPBU yang berhubungan dengan "seberapa rakus" kita mengonsumsi bahan bakar, pun berdampak kepada lingkungan. Makin banyak bahan bakar dihabiskan, makin besar pula beban pihak terkait untuk mencari solusi bagaimana agar dapat selalu memenuhinya.

Ada berapa banyak dari kita yang berada di SPBU yang bersedia merenung dan mengakui; wah saya jadi bagian yang turut mencemarkan lingkungan dengan kendaraan yang saya tunggangi? Bahkan jika Anda nekat mengajak diskusi hal itu dengan tetangga saja, bukan tak mungkin Anda masuk blacklist sebagai orang terlalu ribet. Atau, boleh jadi kita sendiri lebih memilih berpikir apa perlunya memikirkan sesuatu yang memang telah ada orang yang memikirkan. "Mereka sudah digaji, mereka lebih bertanggung jawab," kata kita, seraya menunjuk hidung mereka di pemerintahan atau di perusahaan negara berkaitan, seperti Pertamina, misalnya.

Sementara jika melirik lebih jauh, di berbagai belahan dunia, usaha menumbuhkan kepekaan dalam hal penggunaan bahan bakar sudah diperhatikan makin mendalam. Misal saja di Amerika Serikat, ada kampanye tentang Enviromental Protection yang bahkan menjadi standar untuk menjaga bagaimana kendaraan bermotor tak membawa pengaruh buruk terlalu besar.

Atau berkaca lagi ke negara-negara di European Union (EU) alias Uni Eropa. Sejak lama mereka telah menerapkan standar untuk jenis bahan bakar sejak 1988. Bahkan per 1992 telah ada yang disebut dengan standar emisi Euro 1 dan secara bertahap mengetat sampai Euro 2 (1996), Euro 3 (2000), Euro 4 (2005), Euro 5 (2009), dan Euro 6  (2014).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline