Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Meraba Niat Baik Reuni 212

Diperbarui: 30 November 2017   19:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat aksi 212 yang pernah menjadi magnet pemberitaan - Gbr: Merdeka.com

Jangan berbaik sangka kepada saya karena mengawali dengan ajakan meraba sebuah niat baik dari sebuah rencana yang mulai heboh; Reuni 212. Saya bilang jangan, karena saat banyak masyarakat Muslim di Jakarta dan dari mana-mana merayakan 212 yang berujung pemenjaraan Basuki Tjahaja Purnama tahun lalu juga saya ada di barisan yang tidak setuju aksi ini.

Jadi dengan saya buka tulisan ringan ini seperti itu, sedikitnya Anda tahu, saya berada di mana. Ya, orang-orang seperti saya adalah orang yang sering dihakimi sebagai orang yang berkadar iman rendah, liberal, dan jauh dari Tuhan. Walaupun saya sendiri masih bingung, sejak kapan Islam punya Rukun Islam yang berisi keharusan melaksanakan demonstrasi secara rutin.

Apalagi saat aksi 212 dulu heboh, saya tidak tertarik mendukung karena alasan keyakinan bahwa mereka bukan sedang membela agama. Ketika mereka menyebut ada penistaan agama karena ada nada sindiran dari seorang gubernur yang kebetulan beragama berbeda; saya lebih tertarik untuk jujur saja bahwa memang teramat banyak yang seagama dengan saya menjadikan pesan Tuhan hanya untuk keuntungan diri sendiri. Ayat-ayat Tuhan diperdagangkan oleh banyak sekali orang yang mengincar kursi kekuasaan, atau oleh pengusaha yang ingin terlihat islami agar mampu merebut pasar dari kalangan seagama.

Pemandangan itu yang saya simak memang kerap bikin bingung kalangan seagama dengan saya. Mereka bingung karena mana pedagang murni dan mana yang sedang melejitkan dagangannya dengan memanfaatkan agama. Mereka bingung mana agamawan dan orang yang sedang memanfaatkan agama agar terlihat suci dan  agar dosa-dosa tak tercium orang-orang lagi.

Apalagi, kebingungan itu juga makin teraba dari diobralnya julukan ulama kepada hampir setiap yang berjubah dan rajin mengenakan pakaian putih-putih. Padahal jelas tak semua yang putih itu identik dengan kebaikan. Kok bisa? Ya, "keputihan" bahkan dikenal sebagai salah satu penyakit, walaupun nama penyakit itu diambil dari kata dasar "putih". Bahkan kuntilanak saja konon rajin mengenakan baju putih--entah tak ada toko baju yang menyediakan pilihan warna-warni di sana. Entahlah.

Tapi, kuntilanak saja yang konon berasal dari kalangan setan malah terlihat lebih berani. Sebab ia masih bisa membuat orang-orang lintang-pukang cukup hanya dia berdiri sendirian saja di pojok-pojok yang biasanya hanya digemari tikus atau kecoa. Sementara yang manusia sebenarnya kok makin terlihat tidak percaya diri, padahal baju dikenakan jauh lebih bersih dari baju kuntilanak yang di dunianya tak ada deterjen atau pemutih pakaian.

Kok menuduh orang yang gemar beramai-ramai sebagai orang yang tak percaya diri? Ya, bagaimana bisa dikatakan cukup percaya diri jika mereka hanya merasa besar semata-mata karena jumlah. Sedangkan dalam kualitas, masih kalah dari orang-orang yang diposisikan sebagai minoritas dan yang mereka anggap hanya masyarakat kelas dua.

Buktinya? Saat ada yang mampu memimpin lebih baik, lebih mampu menjaga milik rakyat, justru didepak dengan alasan mengada-ada. Sementara figur yang mereka percayakan sebagai pengganti justru lebih banyak bercanda daripada bekerja serius. 

Apakah dengan Reuni 212 bisa mengubah sesuatu? Ya, tanda tanya inilah yang semestinya menjadi tantangan bagi mereka. Apa urgensi yang bisa dihadirkan jika, katakanlah, pada tanggal 2 Desember ini bisa kembali mendatangkan tujuh juta orang ke Jakarta?

Dari sisi miring, dalam arti secara sudut pandang negatif, kegiatan ini memang dinilai rentan dipelintir untuk hal-hal yang kontraproduktif. Bahkan ada pejabat negara yang mencium gelagat jika aksi ini tak lebih dari sebuah manuver untuk kepentingan politik. Namun, jika menilik lagi dari kacamata lebih adil, memang tak semua orang yang mengikuti aksi ini tergerak oleh keinginan beraroma akal bulus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline