Tak ada yang betul-betul aman dari kekuatan yang terbangun di dunia media sosial. Seorang tentara yang mampu menghadapi medan tempur bisa tersungkur, dan pengembang bergelimang uang dapat saja dibuat tumbang.
Belumlama, kasus Muhadkly Acho yang sempat tertekan oleh kekuatan pihak perusahaan pengembang dan pengelola apartemen Green Pramuka, dapat memukul balik tanpa perlu menggunakan tangannya sendiri. Baru kemarin, seorang oknum tentara yang semena-mena di Pekanbaru atas seorang polantas harus mendekam di tahanan militer.
Dalam kasus Acho, ia sama sekali tak harus mengeluarkan lebih banyak uang di luar keperluan untuk menyewa pengacara, untuk dapat melawan sebuah kekuatan korporasi. Ada kekuatan lain yang membentuk "pressure group", dan terbangun hanya lewat jejaring sosial atau media sosial.
Pengacara Acho pun tak perlu berkeringat lebih banyak, sebab ia hanya perlu berkonsentrasi pada langkah-langkah hukum. Sebab untuk melemahkan lawan, para pengguna media sosial tanpa perlu aba-aba menunjukkan solidaritasnya, menghantam arogansi sebuah korporasi yang notabene memiliki "kekuatan uang".
Tak ada yang mengomandoi pengguna media sosial untuk berjejaring melakukan tekanan pada lawan Acho, dan komika ini sendiri nyaris dapat dipastikan takkan menduga jika ia sangat terbantu oleh kesolidan para pengguna media sosial. Lawannya pun pontang-panting ketika menyadari ada kekuatan yang melahirkan satu hantu bernama "viral".
Perusahaan yang sempat "mengancam" Acho tersebut tak hanya harus mengeluarkan uang untuk keperluan menyewa pengacara, tapi mereka pun dapat dipastikan harus mengeluarkan tenaga dan juga biaya jauh lebih besar untuk dapat memperbaiki citra mereka kembali.
Bukan rahasia, semua perusahaan akan sangat menjaga "brand" yang mereka miliki. Jika brand itu tercoreng, maka bukan pekerjaan mudah untuk meyakinkan calon konsumen bahwa mereka kelak telah lebih baik. Tak sedikit cerita ada perusahaan yang hancur yang didului oleh hancurnya citra mereka. Ini tentu saja menjadi ketakutan besar bagi perusahaan manapun.
Tak terkecuali yang berhubungan dengan institusi negara sekalipun. Seperti kasus tentara dan polantas di Pekanbaru, betapa hanya rekaman video yang beredar di media sosial; tentara yang begitu gagah di jalanan dan terkesan kebal hukum sehingga tak perlu memusingkan aturan lalu lintas, bisa berubah layaknya kucing kehilangan nyali.
Kenapa bisa begitu, lembaga di mana ia bekerja tentu saja takkan mendiamkan tindakan mencoreng nama institusi. Walaupun dalam kasus ini, kondisi oknum itu sendiri tidaklah sederhana; pernah nyaris desersi, pernah bertugas di wilayah konflik, dan ditengarai menderita depresi akut. Terlepas latar belakang kondisi pribadi tentara itu, yang pasti kekuatan media sosial tak mengenal seberapa berpengaruh sebuah institusi.
Di media sosial, para pemilik akun dapat menjadi lebah-lebah kecil yang dapat saja menancapkan bisa ke tubuh raksasa sekalipun. Para lebah media sosial ini tak peduli seberapa besar kekuatan pihak yang berada di posisi lawan, mereka tetap menghantam dengan cara "mengerubungi" dan menancapkan "bisa" di bagian mana saja yang mereka bisa.
Alhasil, dalam kasus di Pekanbaru, bahkan seorang panglima institusi terkait pun harus turun tangan turut menjernihkan persoalan. Mereka menyadari, terlepas ada masalah depresi dan masalah pribadi prajurit mereka, itu takkan dapat menjadi alasan untuk membela "kalangan sendiri", sebab ada pertaruhan nama institusi di sini. Tak heran hanya dalam hitungan 1x24 jam, oknum tersebut diringkus dan harus merasakan dinginnya penjara.