Kematian vokalis Linkin Park, Chester Bennington, menyita perhatian publik dunia. Tak hanya berita dari media mainstream, catatan pribadi saya tentang sosok yang memutuskan mati bunuh diri itu di Kompasiana; Chester Bennington dan Keputusan Mati dengan Cara Sendiri yang saya tulis berselang jam setelah kematiannya, mendapatkan viewer lebih dari 10 ribu dalam satu hari. Termasuk artikel ini sendiri saat tayang di blog pribadi pun mendapatkan pengunjung lebih cepat.
Ini bukan cerita tentang blog. Ini tentang seorang penyanyi menyelaraskan kerasnya hidup dengan kerasnya musik, hingga kerasnya prinsip; termasuk prinsip bagaimana harus mati.
Tingginya perhatian fan atas kematiannya, cukup menjadi petunjuk, Bennington yang juga belakangan berkarier di Stone Temple Pilots itu adalah figur yang sangat dikagumi dan cukup memiliki pengaruh di jagat musik dunia. Pertanyaannya, apa yang paling penting dari berita kematiannya hingga ia paling dicari?
Dalam obrol-obrol dengan teman-teman penggemar musik cadas, tak sedikit yang secara lugas mengatakan jika yang bikin penasaran banyak orang atas berita penyanyi kelahiran 1976 itu adalah keputusannya bunuh diri. Belum tentu semua pembaca kabar tentangnya itu adalah mereka yang benar-benar mengaguminya atau menyukai musik diusungnya.
Ada juga yang berpandangan bahwa Bennington berpengaruh karena ia memiliki catatan panjang dalam kehidupannya. Entah ada yang mungkin pernah memiliki perjalanan hidup mirip dengan dirinya, hingga membutuhkan "suplemen" agar tetap kuat.
Terlebih bukan rahasia jika kehidupan Bennington, di luar ingar bingar dunia hiburan digelutinya, sarat kekerasan yang--entah karena takdir--menempatkannya sebagai korban, dari kecilnya. Tak sedikit yang menjadikannya sebagai sosok inspiratif lantaran beratnya kehidupan dijalaninya, tak dapat menghalangi perjalanan kariernya di dunia musik hingga mendapatkan pengaruh sampai level dunia.
Tapi boleh jadi memang pengagumnya adalah mereka yang mengagumi cerita hidupnya dan juga warna musik diusungnya. Apalagi di puncak ketenarannya dia dinilai mampu merepresentasikan pergolakan batin kalangan muda. Terbukti, ketika album perdananya (Hybrid Theory)rilis, Linkin Park mendapatkan nominasi Grammy Awarddalam kategori "Best Rock Album".
Tak berhenti di sana, ketika album keduanya dilempar ke pasaran--bertitel; Meteora--terjual hingga 27 juta keping. Dari hampir 30 juta album laris di pasaran, dapat ditebak, puluhan juta kuping lainnya menjadi penikmat dan kelak menjadi pemujanya.
Mau tak mau akhirnya dapat dikatakan, bagi penggemar musik rock alternatif, Bennington telah menjadi magnet tersendiri, atau bahkan telah menjadi dewa yang tak hanya membawakan gairah tapi juga "ayat-ayat suci" yang dikemas dengan keras hingga melengking. Sebab dia memahami, keindahan tak selalu berjalan dengan ketenangan, karena perjalanan hidup justru mengajaknya lebih banyak melihat hal keras sejak kecilnya.
Obat-obatan memang pernah membuatnya sangat ketergantungan. "Bahkan saat kami sedang mengadakan konser, hampir tak ada yang menggunakan barang itu. Kami berpesta dengan itu," salah satu pengakuannya.
Terlebih, seperti diwakilkan lewat album debut Linkin Park, Hybrid Theory, yang rilis 24 Oktober 2000, mengakui jika mereka hanya ingin berpijak pada realita yang apa adanya. Mike Shinodapernah menjelaskan jika album itu adalah wakil dari emosi yang bisa dialami siapa saja saban hari, dan apa saja yang terpikirkan setiap hari.