Jakarta memang menjadi kampung bagi masyarakat yang berasal dari Aceh hingga Papua. Tapi, kampung mereka sendiri tetap saja di mana mereka berasal. Tak heran jika menjelang lebaran, mereka bersedia menghabiskan banyak uang hingga tenaga, hanya untuk dapat menjalani sebuah "tradisi" rutin yang disebut mudik. Bahkan, ribuan kilometer tak menjadi penghalang bagi mereka yang merindukan kampung halaman.
Tak terkecuali masyarakat etnis Aceh yang ditaksir mencapai 30 ribu yang berdomisili di Jakarta. Nyaris saban tahun, mereka beramai-ramai memilih pulang; sebagian dengan pesawat komersil, dengan kendaraan pribadi, dan tak jarang juga yang memilih menggunakan moda transportasi semisal bus.
Saya sendiri, memang telah hampir tujuh tahun tak pernah pulang ke Aceh yang merupakan kampung halaman sendiri. Tapi, mudik pun tak lepas dari rutinitas, tak punya banyak kesempatan pulang ke orang tua, jadilah pulang ke rumah mertua. Terkadang mengandalkan bus, dan tak jarang mengandalkan sepeda motor. Jika kendaraan terakhir saya pilih, maka anak dan istri saya minta untuk pulang jauh-jauh hari dengan bus umum sebelum masyarakat se-Jakarta disibukkan oleh mudik.
Langkah itu memang saya ambil, agar anak dan istri tak perlu direpotkan dengan berbagai hal di luar bayangan di momen-momen krusial dalam tradisi mudik itu. Sementara saya, mau tak mau memang baru bisa "tancap gas" setelah jatah libur dipastikan--biasanya mendekati lebaran. Jadilah kerepotan saya tanggung sendiri--bersepeda motor sendirian dari Jakarta ke Bandung sejak subuh buta, tanpa perlu mengikutsertakan anak-istri untuk merasakan kerepotan serupa karena mereka sudah mudik lebih dulu.
Tapi skenario atau cara menyiasati kepadatan mudik ini tentu saja takkan leluasa diterapkan oleh semua orang. Terlebih lagi memang tak sedikit warga DKI yang sama-sama bekerja, dan ini memaksa mereka tetap hanya dapat menjalani tradisi mudik di tengah kondisi sedang padat-padatnya--saran, jika istri Anda tidak bekerja, tetap lebih baik diminta mudik jauh-jauh hari sebelum hari-hari padat.
Sikap itu juga mirip dengan keputusan saya pribadi hingga bertahun-tahun tak pulang ke Aceh dan lebih memilih ke Bandung. Bukan tanpa alasan; selain anak masih kecil, perjalanan jauh, hingga medan yang harus ditempuh pun tak mudah. Apalagi saya sendiri memang bukan ayah yang "terlalu berani" mengajak anak istri menempuh perjalanan berat bersama-sama, hanya sekadar untuk sebuah tradisi. Bagi saya, mereka yang menjadi tanggung jawab saya mesti mendapatkan hal-hal yang lebih nyaman dan lebih baik, sementara yang lebih sulit biar untuk saya sendiri.
Terlepas jika kembali ke sudut pandang dan tradisi sebagai ureung Aceh, tidak pulang mudik saat lebaran itu acap terlihat sebagai sebuah ketegaan. Terlebih, sejak dari ayunan pun telah ditanamkan lewat jangeun (nyanyian), "Poma dengoen ayah, keulhee ngon guree, ureung nyan ban lhee beutapeumulia..."
Sekadar bicara perjalanan, menempuh perjalanan ke Aceh dengan pesawat terbang memang terbilang lebih enteng. Anda hanya menghabiskan 5-6 jam, dengan taksiran satu jam dari rumah ke bandara Soekarno Hatta, dua-tiga jam di udara, dan sejam dari bandara di Aceh ke kabupaten atau kota masing-masing--terutama yang dekat dengan bandara. Kecuali bagi kabupaten yang jauh dari ibu kota provinsi, seperti Meulaboh atau Jeuram--kota kecil tempat saya berasal, maka membutuhkan sekitar empat jam lagi dari bandara di Aceh Besar.
Tapi menggunakan transportasi udara tetap saja tak mudah, lantaran sedikit kalah cepat maka tak ada lagi seat tersisa. Bukan hal mengherankan, satu sisi, lantaran dari catatan Kemenhub pun ada sejumlah 4,92 juta pada lebaran 2016 lalu yang menggunakan transportasi udara--dan tahun ini ditaksir akan mencapai 5,40 juta, tersebar ke berbagai destinasi ke seluruh Indonesia.
Belum lagi karena memang harga tiket pun bisa melebihi 2 juta per orang--terutama tujuan Aceh, dan itu baru kelas ekonomi. Jadi, jika Anda memiliki dua-tiga anggota keluarga, kalikan saja berapa uang yang harus Anda keluarkan untuk bolak-balik Jakarta-Aceh dan Aceh-Jakarta.
Bagaimana dengan transportasi darat? Pun takkan serta merta mudah. Namun kebanyakan masyarakat Aceh di Jakarta sering kali memilih pulang bersama-sama. Bagi mereka, tamita raseuki sipanyang thoen, lam sithoen tasaweu gampong--terj: kita mencari rezeki sepanjang tahun, sekali setahun mengunjungi kampung apa salahnya.