Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

SBY Berjudi di Pilkada DKI

Diperbarui: 3 Februari 2017   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada ekspektasi besar SBY di pundak Agus - Gbr: Tribunnews

Di Amerika Serikat, Donald Trump makin santer jadi bahan pemberitaan. Termasuk di Indonesia, presiden anyar AS hanya bersaing dengan mantan presiden negeri ini, Susilo Bambang Yudhoyono.

Satu titik temu antara figur yang baru menguasai satu negara dengan yang sudah dua tahun lebih meninggalkan kursi kekuasaan, sama-sama terlihat resah.

Trump resah oleh isu terorisme dan khawatir negaranya jadi sasaran Islam garis keras. Walhasil beberapa negara dicoret olehnya alias dilarang menyambangi wilayah kekuasaannya.

SBY resah oleh isu yang mendudukkannya sebagai salah satu aktor dibalik ribut-ribut politik di negeri ini. Sebuah keresahan yang bersambung dengan keresahan lainnya; tetap sebagai sosok disegani rakyatnya, dan juga bagaimana "putra mahkota"-nya bisa menjadi magnet di sebuah medan laga bernama Pilkada.

Percayalah, keresahan Trump di Amerika sana tidaklah lebih besar dari keresahan SBY di Nusantara ini.

Kenapa? Trump sudah berusia terlalu sepuh, dan belum tentu masa jabatannya akan lebih panjang dari usianya yang tersisa.

Sementara SBY terbilang masih potensial, untuk memupuk kekuatan politik; muncul lagi ke atas atau mengangkat anaknya sendiri agar namanya abadi di negeri ini.

Artinya, berbicara ambisi, rasanya Trump tak lagi terlalu berambisi. Sebab melihat rekam jejaknya, di luar bisnis pribadinya tak ada lagi yang membetot perhatiannya.

Politik bagi Trump tak lebih seperti sebuah rumah tangga, jika "tangga" di sana dirasa terlalu rapuh, ia bisa berganti tangga ke tempat lain yang juga tinggi--entah itu mungkin di surga. Apalagi, dari pernikahan pun Trump sudah tiga kali menikah, menjadi bukti dia tak melihat apa pun yang betul-betul sakral--apalagi politik?

Beda halnya dengan SBY, lahir dan besar hingga berkuasa di sebuah negara yang memang kental feodalisme. Di sini kekuasaan betul-betul menjadi "tahta" yang di sana bisa membuat siapa saja harus menunduk di depan "raja".

SBY paham, sekadar punya kekuatan tanpa adanya tahta, maka tak ada bedanya dengan para mafioso yang hanya bisa menggertak tapi hanya untuk ditakuti, bukan benar-benar dituruti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline