Setiap kali melihat tayangan televisi yang bercerita tentang Papua, ada kekaguman pada Bumi Cenderawasih tersebut. Selebihnya, masygul. Ya, perasaan masygul itu karena porsi ekspose media yang memang masih sangat kental Jakarta, dan sedikit sekali membicarakan potensi di ujung-ujung Indonesia, terutama mengangkat sisi wisata.
Soal bagaimana TV "bekerja" sejatinya memang bukan hal yang mesti dipersoalkan. Pertama karena semua TV dengan daya jangkau nasional memang berbasis di Jakarta, kedua karena dari kacamata bisnis ada kesan di sinilah mereka dapat menangguk keuntungan lebih menjanjikan daripada, misalnya, mereka "bermarkas" di Papua sendiri.
Lagipula, bukan tak mungkin jika TV nasional bermarkas di Papua pun, mungkin mereka tetap saja lebih banyak memakai kacamata Jakarta. Jadi di sini agak sulit berharap TV dapat "lebih ramah" terhadap daerah seperti Papua, termasuk belahan Indonesia lainnya.
Kenapa televisi? Sementara yang ingin kita bincangkan adalah perihal wisata. Tak lain karena jamak di Indonesia, di belahan mana saja, kedekatan dengan TV lebih tinggi daripada media lainnya, semisal koran atau bahkan buku. Saya sendiri, hanya mendapatkan buku-buku seputar Papua jika bersua dengan beberapa sahabat yang memang berasal dari sana. Berharap mendapatkan buku-buku itu di Jakarta atau Bandung--dua kota paling akrab dengan saya--nyaris mustahil.
Tapi itu juga masih dapat dipertanyakan lagi apakah iya TV lebih dapat membawa dampak dan pengaruh sehingga wisata Papua dapat lebih diketahui publik, menjadi magnet untuk menyeret mereka melihat seperti apa lokasi wisata yang ada di sana? Juga, apakah hanya dengan melihat TV dengan durasi sesering mungkin akan membuat magnet wisata Papua menanjak tajam?
Tidak mutlak seperti itu, tapi setidaknya TV masih menjadi salah satu yang paling berpengaruh kepada publik di Indonesia yang konon lebih menggemari tontonan daripada sekadar bacaan. Walaupun, keniscayaan bahwa referensi berupa bacaan tetap tak dapat diremehkan, jika mengingat lagi bahwa sebagian besar wisatawan adalah mereka yang melek baca dan sering kali adalah kalangan menengah ke atas yang memiliki budaya intelektual cukup baik.
Jadi, pantas diapresiasi juga apa yang dilakukan beberapa sineas dalam mengenalkan Papua. Meski sebagian terlalu kental fiksi alih-alih menonjolkan realita di sana, paling tidak ada bau tanah Papua yang mampu membuat angan terbetik ingin untuk menyambangi tanah negeri tersebut.
Sebut saja film Epen Cupen yang rilis pada 2015. Ini menjadi salah satu film paling memukau saya sepanjang mengikuti perkembangan Papua lewat dunia layar lebar tersebut.
Sekilas film itu memang kental aroma tawa, karena menyajikan humor khas Papua. Terlebih sosok yang dihadirkan pun memang rata-rata berlatar belakang komedian. Tapi di sini juga kita dibuat lebih mengenal bahwa di Papua terdapat apa yang diistilahkan dengan Mop Papua. Mampu mendobrak anggapan bahwa masyarakat di sana tertinggal, kurang bisa diajak bercanda dan tertawa. Ringkasnya, film itu menunjukkan bahwa masyarakat di sana memang baik-baik dan humble.
Dari kacamata pariwisata, bagaimana budaya masyarakat dan kebiasaan mereka, patut diingat memang menjadi bagian pertimbangan banyak orang; gue akan ke sana atau tidak. Dan, di sini, dapat dipastikan Papua tak menemui masalah. Setidaknya, sisi keramahan dan kehangatan masyarakat Papua tercermin di film yang rilis 2015 itu.
Marissa Nasution yang tak lain adalah salah satu pemeran di film ini pun mengakui jika dirinya pun menjadi penasaran dengan Papua justru dari film dibintanginya tersebut. "(Sebab di film ini) sedikit menceritakan latar belakang Papua itu seperti apa. Aku saja masih berharap bisa ikut ke Papua dan syuting di sana," ucapnya, menjelang film tersebut rilis 2015 lalu.