Artikel ini sebelumnya hanya dimuat eksklusif di situs pribadi penulis di www.tularin.com bertajuk Pepih: Otak di Balik Kelahiran Kompasiana, tapi kemudian terpikir untuk menuangkan kembali via Kompasiana karena pertimbangan akan ada manfaat untuk para Kompasianer dan pembaca umumnya. Selain juga karena pertimbangan utang budi dan ilmu, lantaran lewat sosok ini, penulis mendapatkan banyak catatan penting seputar dunia Citizen Journalism dan media secara umum. Selain juga karena alasan bahwa beliau memilih keluar dari zona nyaman, Kompasiana yang telah dibesarkan olehnya bersama Iskandar Zulkarnaen, Nurulloh, Robert, dan beberapa lainnya.
Berikut cerita yang penulis rangkum berdasarkan pengalaman berdiskusi dengannya selama bertahun-tahun, dari warung makan hingga warung kopi kaki lima, di berbagai tempat di mana sengaja tak sengaja bertemu dengannya di Jakarta:
Perawakannya terbilang kecil. Tapi pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Desember 1964 tersebut siap memamah siapa saja dengan sorot matanya yang tajam. Mata yang mencerminkan karakternya yang tak ingin tertinggal oleh zaman. Dialah Pepih Nugraha, sosok yang juga menjadi otak di balik kelahiran sebuah media berbasis citizen journalism, Kompasiana.
Berlatar belakang sebagai jurnalis di surat kabar kawakan, KOMPAS, sejak 1990 membuat instingnya dalam membaca situasi sangat tajam. Dia menjadi figur yang sangat memahami perkembangan dan perubahan yang mengikutinya.
Itu terbukti dengan kecepatannya membaca perkembangan dunia blogging, yang dulunya kerap dianggap kelas dua dalam jurnalisme, sebagai sesuatu yang diperhitungkan olehnya.
Maka itu, Kompasiana yang dibidani olehnya dengan penamaan yang tak lepas dari sosok Budiarto Shambazy, awalnya memang hanya diperuntukkan untuk kalangan wartawan di surat kabar KOMPAS, namun di tangannya berubah menjadi media "keroyokan" yang menampung ribuan penulis di Indonesia. Bukan prestasi sederhana, tentu saja.
Dia mengakui, perjalanannya membanting setir--meski tak sepenuhnya--dengan memberi fokus pada dunia blog, membuatnya kerap dicibir atau dicemooh.
Tapi, pria mungil itu bukan tipe pemilik nyali kecil. "Saya harus menerobos anggapan bernada cemoohan yang menyebut bahwa blog sudah selesai," katanya, seperti berjanji dengan diri sendiri. "Dengan konsep blog keroyokan, saya hadir melawan segala cemoohan."
Dia pun menepati janjinya. Walaupun dia mengaku sangat menyadari, pilihannya itu terkesan melawan arus, dan awalnya dia sendiri tak terlalu yakin bahwa itu adalah keputusan tepat atau keliru.
Apalagi di awal dia menggerakkan Kompasiana, saat wartawan KOMPAS lainnya tak dapat secara intens menulis di sana karena ketatnya deadline dan kesibukan lain selayaknya wartawan mainstream, dia berusaha terus menulis dan menulis--selain di KOMPAS pun tetap menulis.
Pep--sapaannya--tak surut. Dia hanya mengingat dan mensugesti dirinya, ada minat kuat pada publik, terutama bagi para penulis dari lintas genre yang tak semuanya tertampung di media arus utama.