Jalanan Jakarta hingga Karawang dan lanjut lagi ke Purwakarta, Selasa (23/8) tak terlalu melelahkan. Selain karena perjalanan ini ditempuh bersama para rider dari kalangan Kompasianer, di-back up TVS Motor Community (TMC), terlebih lagi karena tunggangan saya pilih: APACHE RTR 200 4V!
Ya, itu motor asal India, yang menjadi salah satu andalan TVS menantang pasar roda dua. Juga, untuk bersaing dengan berbagai jenis motor lainnya dari beragam pabrikan yang mengincar pasar Indonesia. Dan, hari itu saya dengan sederet Kompasianer, berkesempatan menjajal produk pabrikan asal Negeri Hindustan.
Sejujurnya, sebelum ini, saya hanya akrab dengan produk Jepang dengan berbagai macam merek. Tentu, tak seluruh merek itu memang betul-betul saya beli, kecuali satu saja, dan itu pun jenis bebek. Selebihnya, yang berbodi besar, saya cicipi dengan meminjam motor teman.
Setidaknya, dengan pengalaman pernah menjajal beberapa jenis motor--milik pribadi dan pinjaman tadi--sangat terasakan ada yang berbeda dari masing-masing tipe itu.
APACHE yang saya tunggangi sepanjang Jakarta-Karawang-Purwakarta takkan terlalu terasa kelebihannya dalam kecepatan rendah--laiknya motor berbody besar umumnya. Tapi dalam kecepatan tinggi, jangan ditanya, di sinilah kelebihan dimiliki kuda besi ini.
Dari sisi kecepatan, maksimal yang sempat saya jajal hanya sampai di kisaran 115, dan hanya beberapa jenak sedikit lebih dari itu.
Maklum, dalam urusan kecepatan, saya mempertimbangkan banyak hal. Selain kondisi fisik saya sendiri yang malam menjelang even bertajuk TVS Joy Ride itu hanya sempat tidur tak lebih dari dua jam, juga faktor medan Jakarta yang padat, dan rute sasaran yang tak familiar dengan saya.
Walaupun lagi-lagi, godaan untuk menarik gas sekeras-kerasnya tetap saja ada. Dan, sesekali memang itu saya lakukan, terutama di medan yang saya yakini takkan membahayakan orang lain dan tentu juga saya sendiri. Ada kepuasan tersendiri saat dapat menyalip beberapa teman di beberapa titik yang memungkinkan.
Tapi tak selalu saya turuti dorongan itu: "Anak gue masih bayi setahunan. Dan, gue kaga mau dia jadi yatim," begitulah alasan saya saat bincang-bincang dengan Widianto Didiet, Baskoro Endrawan, Eno Anderson, dan Kang Didno, sebagai rider--kecuali Eno--adalah para bapak-bapak yang semua telah memiliki anak (naluri lajang dengan para bapak beda, bo he-he).
Nah, tapi justru dalam beberapa kesempatan menarik gas penuh itulah saya bisa merasakan plus minus motor ini. Terlihat, kombinasi ban Pirelli dengan jarak depan belakang yang masih pantas dikatakan ideal, membantu pergerakan lebih mudah dikendalikan.
Bobot badan saya yang hanya berkisar minus 67 KG, dan tinggi 167 cm, terasa lebih menyatu dengan motor ini. Tak terlalu kesulitan untuk mengayun gerakan motor di tikungan ataupun saat harus meliuk-liuk menyalip kendaraan lain.