[caption caption="Pemandangan paling humanis dari realita terkini (Gbr: Popmagz.com)"][/caption]Berstatus selebriti dan sering muncul di tivi, bukan halangan bagi sosok Marshanda menjadi diri sendiri. Kelebihan dari karakternya ini, tak merasa rendah diri untuk menerima realitas, termasuk ketika ia mendapati ayahnya terlantar dan menjadi pengemis. Tak ada yang perlu dipertanyakan dari sikap Marshanda dengan semua penerimaannya yang apa adanya atas kondisi sang ayah. Pertanyaan terpantas dimunculkan menyusul fenomena itu adalah sikap publik sendiri. Apakah tidak ada yang salah?
Ada. Kesalahan yang terbesar yang mewarnai fenomena itu datang memang dari luar Marshanda dan ayahnya tersebut, dari penghakiman yang masih saja bermunculan di mana-mana.
Ada kesan, begitu berminatnya banyak orang untuk menjadi hakim. Alhasil, sikap Marshanda yang mau mengakui ayahnya dengan apa adanya, meskipun merupakan sebuah pengakuan yang jauh lebih berharga dari award yang dikenal di dunia selebriti, tapi masih saja yang menghakimi si anak.
Sebut saja, misal dari keputusan Marshanda memberikan uang Rp 100 ribu, sontak mendapatkan respons bermacam-macam dari publik yang lagi-lagi mendadak jadi hakim. Mereka menyorot soal Alphard yang dikendarai sang selebriti hingga jumlah yang dinilai sama artinya Marshanda pun menganggap ayahnya sebagai pengemis.
Tak sedikit juga yang menyoroti soal kenapa setelah muncul di berbagai media barulah Marshanda menemui sang ayah. Bahkan ada yang memvonis artis ini tak benar-benar menghormati sang ayah.
Trenyuh. Ya, bukan lagi trenyuh karena pertemuan seorang anak dengan ayahnya yang memang sangat menyentuh. Tapi trenyuh oleh karakter kita sendiri yang kian gemar menghakimi, sedangkan kita masih memiliki aib sendiri-sendiri. Ya, kita kian sok tahu, ketika sejatinya dari jam ke jam kita lebih dipusingkan dengan urusan sendiri, tapi lancang ingin mencampuri urusan orang lain yang hanya kita kenal lewat media, itupun yang terbaca oleh kita saja.
Di pikiranku, andai saja kita mengambil pelajaran dari potret nyata ini dan berkaca darinya, akan lebih positif dan memberikan energi untuk juga menjadi lebih baik. Tapi justru masih saja banyak yang memilih mencaci. Membingungkan, apa hasil baik yang bisa didapat dari tren buruk seperti ini, gemar menghakimi?
Padahal, andai saja kita jujur, fakta hidup yang dialami Marshanda itu bukanlah sebuah hal yang sederhana. Pengakuannya bukanlah sesuatu yang mudah. Ia mempertaruhkan popularitas, mempertaruhkan nama dirinya sendiri, dan mungkin juga kariernya karena fenomena itu bagian dari sebuah masalah yang tak dapat kita ukur.
Sekali lagi, kita telah menjadi hakim yang buruk, jika sebuah sikap baik dari seorang anak justru dinilai dengan buruk.
Tercenung. Mental kita kian parah saja. Kenapa saya sebut kita? Karena di tengah publik yang menyimak jalan cerita Marshanda tersebut, tak hanya Anda tapi juga ada saya di sana. Di "kerumunan" itulah saya pribadi, sekali lagi, tercenung.
Bukan soal masa depan Marshanda dan ayahnya yang menjadi persoalan di tengah fenomena ini, tapi masa depan dari sebuah nilai yang sejatinya dibutuhkan; kebaikan. Jika kebaikan bisa dinista karena hal-hal yang bersifat praduga saja, bagaimana bisa berharap bisa menemukan kebaikan akan tetap bertahan di masa depan.