Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Dari Serambi Ganja, Berharap BNN Lebih Bertenaga

Diperbarui: 25 Maret 2016   18:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Narkoba tak lagi sekadar konsumsi masyarakat di perkotaan (Gbr: KOMPAS.com)"][/caption]Saya sedang duduk persis di depan televisi, bersama Shadia, bayi saya yang baru beranjak sepuluh bulan. Persis sekitar sepekan lalu, ketika dengan tidak sengaja menyaksikan perdebatan soal perlu tidaknya menaikkan status Badan Narkotika Nasional jadi setingkat kementerian?

Ketika di TV perdebatan itu terus berlangsung, di kepala saya pun ada perdebatan tersendiri yang sedang berjibaku. Dengan pertanyaan yang sebenarnya lebih kurang mirip; Apa perlunya kenaikan status tersebut? Apa yang menjadi kelebihan jika status tersebut benar-benar jadi dinaikkan? Apa saja efek baik dan buruk dari rencana itu jika terlaksana?

Saya sama sekali tidak mencari solusi. Hanya membiarkan kepala saya sendiri untuk bertanya saja, walaupun lagi-lagi sasaran pertanyaan itu adalah ke diri sendiri saja.

Tapi, juga kerap terbetik di pikiran tentang provinsi saya berasal, Aceh. Bagaimana tidak, jengkel atau tidak, marah, tapi mau tak mau kerap harus mengiyakan, ketika misalnya Aceh sempat dijuluki sebagai "Negeri Ganja", merujuk ke salah satu tanaman yang juga dinilai bagian dari narkoba. Di sana, alih-alih memberantas ganja, justru barang haram lainnya pun kian memasyarakat, dari ekstasi hingga sabu-sabu dan sejenisnya.

Meski lebih dari lima tahun saya belum pernah pulang lagi ke Aceh, kabar dari teman-teman di sana, kerap membuat saya merasa trenyuh. Belum lama, saya menerima telepon dari seorang teman di Aceh yang awalnya bercerita tentang beberapa teman lainnya yang mulai kian berperan di masyarakat. Sebagian terjun ke dunia politik, dan ada juga beberapa yang kini memegang jabatan, dari menjadi kepala desa hingga mendapatkan jabatan tertentu di level kabupaten dan provinsi.

Banyak yang berubah. Terbetik di pikiran saya, agak sedikit melamun ketika mendengar sang sahabat bercerita.

"Jangan berpikir semua sudah lebih baik," ucap si teman tadi, seperti mewanti-wanti. "Kian tinggi jabatan mereka, kian banyak  tanggung jawab mereka ke masyarakat, tapi kian sedikit tanggung jawab mereka ke diri sendiri."

Saya memilih untuk hanya mendengar dan menggumam, sesekali, agar si teman leluasa bercerita. Kalimatnya seperti sedang menyimpan suatu kekecewaan, yang menghapus keceriaan yang seharusnya mengisi aura dalam kata-katanya.

"Sebagian dari teman-teman kita justru jatuh," dia melanjutkan. "Jabatan lebih baik, jalan mencari uang pun sudah lebih baik, tapi
yang buruk justru cara mereka memanfaatkan uang. Sekarang, sebagian dari mereka menjadi penjudi kelas berat, sedangkan sebagian lainnya menambah lagi dengan mengonsumsi obat-obatan terlarang. Ganja sudah masuk kelas bawah. Tidak elite. Sekarang sudah merambah ke ekstasi hinggasabee (sebutan masyarakat Aceh untuk obat-obatan jenis sabu-sabu)."

Lalu sang teman tadi menyebutkan beberapa nama yang memang pernah dekat dengan kami, terutama di masa remaja, tahun 1990-an dulu.

Di sinilah, urat syaraf saya terasa lebih menegang. Pikiran iseng pun berkelebat, kok orang-orang terkesan lebih massif mengampanyekan bahaya rokok dan mencegahnya, tidak seimbang dengan kampanye narkoba? Mungkin ini bukan kesimpulan objektif, tapi inilah kesan yang sempat muncul di benak saya, di sela-sela obrolan saya dengan sang teman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline