Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Tari Menjahit Matahari

Diperbarui: 11 Februari 2016   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gbr: Pixabay.com"][/caption]Hanya buku, kain, dan mesin jahit. Itulah yang paling sering menemani Tari sejak ia melepas pakaian wisudanya. "Hatiku sangat dekat dengan ayah, tapi hanya ini yang nyatanya paling sering ada bersamaku," seakan menjawab tanda tanya besar di kepalaku, Tari mematahkan keherananku.

Bukan sekali aku berada di galeri tempat ia memajang sederet gaun yang sudah selesai dibuatnya. Sejujurnya, deretan gaun itu memang membuatku takjub, tapi aku sendiri lebih takjub oleh senyumnya, entah kenapa.

Kenapa dengan senyumnya? Ya, karena setiap kali kukatakan bahwa aku tertarik kepadanya, ia hanya membalas dengan senyum. Seribu senyum yang sudah diberikan olehnya untukku, karena memang sudah seribu kali kuulang-ulang bahwa aku tertarik kepadanya.

Apakah ia jenuh? Kulihat ia tidak jenuh memberikan senyumnya itu, dan itu kutafsirkan sebagai isyarat bahwa ia memang belum jenuh mendengar kalimat yang seribu kali kuulang itu. Entah aku terlalu percaya diri, sehingga aku begitu yakin, sejuta kali lagi atau dalam hitungan yang sulit terhitung pun, ia masih takkan jenuh memberikan senyum itu.

Gaun-gaun jahitan Tari memang sangat menarik. Mungkin karena tapak kakinya memang bagus, dan jari-jemarinya memang lentik dan menarik, maka itu keindahan dari tapak kaki di alas mesin jahitnya dan kain disentuhnya itu pun ikut jadi menarik. Kukira, iya.

Jangan tanya logis tak logis apa yang kusimpulkan itu. Sebab, atas semua rasaku kepadanya pun tak pernah kuperdebatkan, ini logis ataukah tidak.Jadi, biar saja logis dan tak logis menyatu seperti benang jahitannya bersama kain dan jarum. Walaupun kain dan jarum seperti tak ada mirip-miripnya, tak ada unsur kesamaan, tapi toh mereka sering bercumbu hingga melahirkan gaun yang setiap hari dijahit oleh Tari.

Aku kerap memerhatikan bagaimana jemarinya bergerak, tapi kakinya mengayun di tapak mesin jahitnya itu. Settt, setttt, setttt, dan itu di kupingku tetap terdengar merdu. Ya, mungkin saja karena suaranya memang merdu, maka suara mesin jahitnya pun jadi ikut terdengar merdu.

Lagi, jangan perdebatkan ini logis atau tidak.

"Aku sendiri bukanlah perempuan yang cukup logis dalam melihat hidup," pengakuannya kudengar dalam sekali kunjungan. Entah mungkin ia sedang menghiburku, karena mungkin ia tahu, aku seorang lelaki yang sulit menerima bahwa hidup harus selalu menyembah pada logika.

"Saat aku masih remaja, aku pernah jatuh cinta kepada lelaki yang 10 tahun lebih berusia di atasku," kata dia lagi. "Itu mungkin juga tidak logis. Tapi aku juga suka dikatakan tidak logis."

Aku tidak terlalu ingat, apa saja yang sudah kuungkapkan panjang lebar kepadanya dalam pertemuan demi pertemuan itu. Mungkin saja, karena otakku lebih tertarik mengingat suaranya, kata-kata dari bibirnya, dan ekspresi wajahnya. Bagi otakku itu jauh lebih menarik dibandingkan harus mengingat lagi apa saja yang sudah kuutarakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline