Saat itu, kalender sedang menunjuk tahun 1963. Indonesia, Malaysia, dan Filipina saling akrab. Para menteri tiga negara itu bahkan mengadakan beberapa pertemuan. Di tingkat tinggi, Sukarno, Tunku Abdul Rahman, dan Macapagal pun melakukan berbagai konferensi. Ketiga tokoh itu membicarakan konfederasi yang disebut dengan Maphilindo--yang diambil dari nama-nama negara tersebut.
Pada saat itu, Cina yang bekerja sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) berharap adanya kebijakan anti-Malaysia. Tujuan dua pihak ini tak lain adalah agar pembentukan negara Malaysia gagal.
Kepentingan di balik itu berkait dengan kepentingan segi tiga Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Cina sendiri. Di dalam negeri, terjadi persaingan Soekarno, militer, dan PKI.
Begitulah runutan yang dicatat oleh M.C Ricklefs, Profesor Kehormatan di Monash University. Hal itu dituliskannya di buku bertitel: A History of Modern Indonesia Since 1200 (versi Indonesia: Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004).
Menurut Ricklefs, pada September itu pula, PKI membawa massanya ke jalanan. Mereka melakukan demontrasi dengan topik utama hanya berkisar pada penentangan terhadap Malaysia.
Penyebabnya, masih menurut Ricklefs, hanya karena Malaysia akan terbentuk pada 16 September 1963.
Ekses dari itu, Kedutaan Besar Inggris dibakar. Tak kurang dari 21 rumah rumah staf kedutaan Inggris pun dijadikan sasaran api. Tidak itu saja, Kedutaan Besar Malaysia pun diserang. Buntutnya Kedutaan Besar Indonesia di ibu kota negara jiran itu pun diserang masyarakat setempat.
Ricklefs mencatat, pada 17 September 1963, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik. Tak mau kalah, Indonesia pun memutuskan semua hubungan, tak hanya dengan Malaysia, tapi juga dengan Singapura.
Tak lama, pada 25 September, Soekarno mengumandangkan ajakan, "Ganyang Malaysia". Ini yang belakangan terus menggema, bahkan setelah presiden Indonesia pertama itu mangkat.
Terlepas situasi saat itu dengan perkembangan hari ini sudah jauh berbeda, tapi dampak dari itu masih membekas. Masih kerap terjadi praktik yang beraroma sentimen antara masyarakat di kedua negara.
Sisi ironisnya adalah tak banyak yang menelusuri pertarungan politik yang berada jauh di belakang sebagai penyebab. Pembicaraan tentang itu seolah hanya menjadi domain akademisi dan pihak pemerintah.