Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Meski Banjir, Mereka Terus Bekerja

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13899908391177450618

[caption id="attachment_316567" align="aligncenter" width="620" caption="Menulis saat banjir dan hujan seperti sedang bersaing (Gbr: Dwianto Tempo)"][/caption]

Mereka bergerak dengan memanggul ayam-ayam yang sudah dibersihkan dan siap jual. Dalam hujan yang masih turun, dan air dari kali yang kian meluap. Sementara jam menunjukkan pukul 2.30, baru dua setengah jam beranjak dari tengah malam. Kalender sedang menunjuk tanggal 18 Januari 2014. Berpakaian seadanya, hanya satu dua di antara mereka yang mengenakan jaket untuk menghangatkan badan. Tapi, jaket itu tak banyak membantu, karena tak lama hujan reda, lagi-lagi air tercurah dari langit. Hujan lagi, banjir kian meninggi. Kali yang berjarak beberapa meter dari tempat mereka tinggal sudah tak kuasa menampung jumlah air.

Sementara jumlah kubik air yang berakibat banjir itu belum juga surut, semangat mereka untuk bekerja saat gelap malam masih begitu pekat pun tak surut. Bagi mereka, banjir tidak menjadi alasan untuk mengalah. Mereka sepertinya sudah diajarkan hidup, banjir itu memang musibah, tapi bukan alasan untuk kalah. Maka, mereka terus berjalan melewati banjir yang sudah naik hingga melewati lutut.

Mereka adalah penjual ayam dari Kampung Pluis, yang biasa berjualan di Pasar Palmerah, Jakarta Barat. Biasanya, mereka akan membawa ayam-ayam yang sudah tidak berbulu itu--karena sudah dibersihkan--dengan gerobak-gerobak yang ditarik dengan tangan saja. Namun banjir yang setinggi itu tidak memungkinkan mereka menggunakan gerobak-gerobak itu. "Jadi makin berat kalau memaksa membawa gerobak itu dengan banjir seperti ini," kata salah satu penjual ayam itu, berusia sekitar 60 tahun.

Pak Jumianto, di Kampung Pluis itu dia adalah salah seorang Ketua RT. Berperawakan sedikit gempal, berbadan bungkuk, dengan keriput yang sudah sangat jelas terlihat dari kulitnya. Sehari-hari istrinya yang membersihkan ayam-ayam yang akan dijual ke Pasar Palmerah. Dia dengan satu-satunya anaknya yang putus sekolah, secara bergantian melayani pembeli di tempat mereka membuka lapak di pasar itu.

Pada Sabtu menjelang pagi ini, dia membawa ayam-ayam dagangannya hanya dengan ember. Dihanyutkan di atas genangan banjir, hingga mendekati jembatan yang melintasi kali. Di sana anaknya yang akan menyambut dan membawanya ke lokasi yang lebih tinggi. Dari sana baru dibawa lagi ke pasar.

Pagi yang sangat sibuk. Jauh lebih sibuk dari biasanya. Karena, jika sehari-hari mereka hanya perlu berurusan dengan berapa jumlah ayam yang akan dibawa, pagi ini mereka harus berpikir bagaimana membawanya.

"Tapi ini kan bukan kejadian pertama. Pernah banjir terjadi jauh lebih tinggi dari ini," kata Pak Budi, yang juga salah seorang warga di RT 002 itu. Disahut Pak Jumianto yang sedang memberesi ayam dagangannya dari ember yang dihanyutkan melewati banjir tadi, "Banjir gak mau berhenti, kita juga jangan dikalahkan banjir," seakan ia sedang menaikkan semangatnya sendiri.

Tidak ada celah untuk mereka mengeluh. Mereka tetap bekerja. Berharap, hari ini dagangan mereka bisa laris, dan nanti saat pulang disambut istri dengan senyuman termanis. Banjir bukan alasan untuk mengeluh, kata mereka lewat gerakan lincah mengadang banjir yang belum pasti kapan akan surut. (FOLLOW: @zoelfick)

Reportase dari Lokasi Domisili Penulis, Kampung Pluis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline