Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Farhat Abas, Korban Publisitas

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13890341711743263197

[caption id="attachment_314243" align="aligncenter" width="540" caption="Entah jika ini menjadi calon presiden (Gbr: berita8)"][/caption]

Di mata sebagian masyarakat, Farhat Abas terlanjur menjadi orang terkenal. Di mata sebagian lainnya, pengacara ini terlanjur diberi pentas untuk bicara. Satu kesimpulan yang kurang enak untuk saya umbar dalam tulisan. Tapi dengan terpaksa saya harus jujur atas apa yang saya rasakan dan pikirkan tentang pengacara ini. Ia telah memelintir peran pengacara sebagai kuasa hukum, menjadi pengacara yang memaksa banyak orang untuk maklum.

Ya, banyak orang sepertinya memaksa diri untuk bisa memaklumi pengacara satu ini. Meski sulit dipahami bagaimana caranya pengacara yang kerap menangani kasus hukum dialami selebritas ini lulus sebagai advokat. Sementara untuk bisa mendapatkan tempat di jajaran para advokat--sebagai nama lain pengacara--harus menempuh pendidikan khusus di luar pendidikan sarjana di kampus. Pun membutuhkan ujian profesi agar layak disebut sebagai advokat, sebagai pengacara, sebagai kuasa hukum.

Tapi dia adalah seorang pengacara. Rekam jejaknya terbilang unik. Ia terlahir di Riau, bersekolah di SMA 70 Jakarta, dan kuliah di Universitas Pasundan Bandung. Seterusnya, pernah mencalonkan diri sebagai bupati di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kolaka.

Ia tidak bisa memilih untuk lahir di mana, maka ia lahir di Riau. Ia bisa memilih untuk bersekolah di Jakarta dan kuliah di Bandung. Tapi ia lagi-lagi tak bisa memaksa penduduk Kolaka yang tak mengenalnya untuk memilih dia. Alhasil, iapun pernah merasakan seperti apa kekalahan saat memaksa diri menjadi kontestan di kawasan yang tak dikenalnya dan tak mengenalnya.

Ini yang saya kira menggambarkan cara berpikir seorang Farhat Abas. Suatu cara berpikir yang cenderung acak. Ia seperti tak butuh mencari korelasi, relevansi, keterkaitan, atau apapun yang sejenis dengan itu. Maka saya pun agak curiga, dari sekian perkara yang pernah ia tangani--dengan pola pikirnya seperti itu--berapa perkara yang berhasil ia menangkan? Jika memang banyak catatan keberhasilannya dalam hal yang memang ranah profesinya, saya sepertinya akan bersedia menjadi juru kampanye dia meski tak ada yang mengusungnya--sedikit berguyon.

Belakangan ia dengan percaya diri memproklamirkan dirinya sebagai calon presiden. Siapa yang mengusungnya, entahlah. Syukurlah bahwa petinggi-petinggi partai politik masih bisa dikatakan waras untuk tidak berjudi mengusung pengacara ini.

Hanya, kepercayaan diri pengacara ini mungkin tertinggi di Indonesia, saya kira. Ia juga sangat percaya diri mengampanyekan Sumpah Pocong sebagai cara menangkal korupsi. Ini yang kerap bikin saya tercenung dan sedikit tertawa, apakah saat ia kuliah dulu mengambil spesialisasi hukum pocong? Tentu ini hanya mengada-ada saja.

Tadi malam, saya merasa terhibur sekali saat pengacara ini tampil di acara Hitam Putih. Ia disandingkan dengan dedengkot acara itu, Deddy Corbuzier. Keduanya berbicara, berdialog, saling melempar sindiran.

Trenyuh saya melihat, pengacara ini sama sekali tidak merasa--atau pura-pura tak merasa--saat ia dijebak dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang diajukan kepadanya.

Ia mengomentari Ridwan Kamil di acara itu terkait kebijakan seputar sepeda. Ia memperlihatkan analisis kenapa ada gagasan untuk mengampanyekan sepeda, ia dengan polos menjawab, "Ide bersepeda itu datang karena Kamil mungkin di masa kecilnya pernah tidak kesampaian membeli sepeda, atau pernah gagal belajar sepeda...karenanya saat ia menjadi wali kota, lantas ia menjadikan impiannya bersepeda menjadi kebijakannya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline