Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Lelaki yang Masih Mendaki

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13563228431462689668

[caption id="attachment_231198" align="aligncenter" width="519" caption="Ilustrasi/ Admin (kompas.com)"][/caption] Angin malam itu tidak terlalu kencang. Mungkin karena sudah didului hujan. Deras dan kencang. Kau tak tahu, itu mirip dengan debar hatiku. Tak kalah kencang. Di saat harum parfum dari tubuhmu, diam-diam kucuri, dan kuresapi dengan kedua lubang hidungku. Lobang-lobang kecil yang sontak enggan berjarak, untuk bisa hinggap di pipimu. Sial! Tidak bisa! Ini pertemuan pertama kita di tempat yang tak diketahui siapa-siapa. Di tempat kita leluasa bercerita. Di tempat itu pula, aku kehilangan kata-kata. Iya. Memang. Kita sudah bercerita apa saja. Kita sudah bercerita tentang warna langit menjelang senja. Bercerita tentang pekat yang benar-benar tanpa warna. Tapi, aku tak bisa bercerita tentang sesuatu yang aku rasa. Cinta. "Aku menemukan diriku di dalam dirimu!" Itu kalimat yang keluar dari bibirmu. Juga bibirku. Dua bibir yang belum bisa bersentuhan. Bukan enggan. Khawatir saja, nanti kau akan katakan aku sebagai bajingan. Ya, bibir itu. Bibirmu. Kucermati diam-diam. Setiap ada sejumlah abjad yang sudah kau susun menjadi kata dan kalimat. Kau utarakan padaku. Tatapanku ke bibirmu itu adalah tatapan seorang tukang lukis, atau mungkin tukang pahat. Aku memperhatikan garis. Aku menyimak warna. Tanpa bisa mengetahui rasanya. Meski begitu, aku sudah melukis senyum dan tatapan tajammu di dadaku. Kugantungkan lukisan itu di dinding pikiranku. Sudah kubikin pula pigura, di sana lukisanmu berada. Aku juga sudah memahat dirimu, dengan pahatan yang kukira lebih halus dari yang bisa dilakukan tukang pahat yang konon mahir di bidangnya. Tentu saja, mereka memahat patung yang diam tanpa bisa bergerak. Aku memahat dirimu, dan tetap bisa bergerak di sekian lorong yang ada di pikiranku. "Aku sering jenuh pada hidup. Aku sering menghabiskan waktu hanya untuk diriku. Tapi, aku juga ingin memberi banyak untuk ibuku. Tapi, ibuku sudah lebih dulu pergi." "Sering kali, ibu datang dalam mimpi. Ia bicara padaku. Ia membiarkanku bermanja dengannya. Aku mencintai itu. Dalam mimpi itu, berkali-kali aku meminta pada ibu, aku ingin ikut dengannya. Selalu saja, ia tidak pernah mengizinkanku ikut bersamanya. Entah kenapa, ia selalu bilang, sementara biar ia saja yang berada di sana. Katanya, aku harus menjaga bapak," kau meluapkan sekian cerita tentang ibumu yang kini di alam sana. Di sana. Di alam yang akupun tak tahu, seperti apa persisnya. Apakah di sana ada bangku panjang seperti yang kita duduki saat hujan bahkan tak lagi menyisakan gerimis. Atau, di sana ada tempat makan lesehan seperti kemudian kita datangi? Kita sama-sama tidak tahu itu. Aku hanya tahu, aku mengagumimu. *** Senja baru saja lewat. Sudah malam. Kita sedang tak tahu harus ke mana. Setelah mengitari tukang jualan buku, yang sebagian terlihat lugu dan sebagian seperti tak punya malu. Bagaimana tidak, di antara tukang buku itu seperti berpikir menjualnya dengan harga biasa saja. Bahkan tak ada upayanya untuk promosi menggebu. Kusuka itu. Tapi lebih kusuka saat kau melihatku dengan termalu-malu. Ada lagi penjual buku itu yang memang tak tahu malu. Ia ingin memasang harga tinggi untuk satu buku. Kau ingat, saat aku menunjuk buku berjudul, "Sejarah Filsafat Barat." Hampir dua ratus ribu harga buku itu. Jika aku harus keluarkan uang sebanyak itu, aku merasa berdosa pada ibuku. Ibu yang tidak pernah terpikir untuk terlalu pintar, tapi justru berjasa besar karena membesarkanku. Seperti prinsipmu, saat kau bercerita, sebagian gajimu kau beri untuk ayahmu semenjak kau tak ada lagi ibu. Aku berpikir, kau harus tahu apa saja yang suka kubaca. Karena aku adalah lelaki yang berpikir, entah oleh apa, kelak mungkin saja kita benar-benar bisa bersama. Setidaknya, saat kebersamaan itu harus menghadapi hal-hal rumit, kau bisa tahu bahwa aku juga lelaki yang membiasakan diri dengan hal-hal rumit. Kuperkenalkan diri dengan caraku. Tanpa perlu kusebut nama. Tetapi, dengan cara itu, dengan menunjukkan ketertarikanku. Walaupun, aku sendiri menyembunyikan bahwa aku tertarik padamu. Aku hanya menunjukkan ketertarikanku, seolah hanya pada buku-buku. Tanpa kau tahu, aku sedang membaca juga berlembar-lembar halaman pikiranmu. Dari sana, kita melangkah lagi. Tak lagi dikitari buku-buku. Justru, saat ini satu layar cukup lebar terpampang di depan kita. Kau duduk di sisi kiriku. Sudah lima belas menit film di layar itu luput dari kita. Aku dan kau telat masuk karena begitu larut dalam cerita tentang masing-masing kita. Tak apa-apa, ceritanya masih bisa teraba. "Itu Mahameru. Itu puncak gunung yang bisa dengan jelas terlihat dari kampungku," katamu tiba-tiba saat scene sekelompok anak muda menuju ke puncak gunung tertinggi di pulau Jawa. Aku manggut-manggut saja. Di film itu, mereka ingin mendaki menuju Mahameru, sedang aku ingin mendaki hatimu. "Ingin sekali aku bisa melakukan pendakian begitu," masih katamu saat di layar terlihat anak-anak muda berikrar untuk tak menyerah sebelum tiba di puncak. "Terus, kenapa kau tak ikut mendaki saja dengan teman-temanmu?" Sahutku, mencondongkan sedikit badan ke arahmu. Mirip posisi lelaki yang sedang menyimpan keinginan untuk mencium gadisnya. Mungkin saja, diam-diam aku menginginkannya. Aku melirik ke arahmu lagi. Terlihat kedinginan. Kutawarkan jaketku, walaupun aku juga kedinginan. Kupikir, kalau saja kau mau, pasti aku benar-benar akan melepas jaket itu dan memakaikannya ke tubuhmu. Kau menggeleng. "Tidak perlu. Aku tidak apa-apa!" Aku tidak percaya. Aku juga enggan memaksa. Padahal, aku selalu suka jika pakaian yang kukenakan bisa membalut seseorang yang kusuka. Apalagi, bagiku, seorang lelaki itu memang lebih gagah jika ia mati beku sekalipun, namun makhluk istimewa dalam hidupnya bisa bernafas hangat. Bukan. Kukatakan begitu bukan karena aku begitu terobsesi dengan film Titanic yang pernah kulihat lebih dari sepuluh tahun lalu. Ini benar-benar keinginanku. Aku hanya menarik nafas saat kau menolak keinginanku memakaikan jaket itu ke tubuhmu. Aku menyukai persentuhan itu. Ya ketika pundakku, sedikit kusengaja menyentuh pundakmu yang duduk di sebelahku. Hanya itu. Aku tak bisa lebih jauh dari itu. Bukan. Bukan karena aku tak pernah menyentuh perempuan. Cuma, aku melihat, sebagian perempuan berani terbuka jika mereka menyukai sentuhan. Sebagian lainnya, mengait-ngaitkan sentuhan dengan persoalan harga diri. Itu terlalu jauh, menurutku, dan bahkan berlebihan. Melihatmu meringkuk kedinginan begitu, aku teramat sangat merasakannya pula. Iba. Tidak tega. Kasihan. Entah apa lagi. Itu pula terasa olehku. Hanya saja, aku adalah lelaki yang tidak suka disebut terlalu suka bicara. Lelaki, kukira harus bisa melakukan sesuatu yang melampaui sekadar kata-kata. Kendati, jaket itu sendiri kemudian masih tetap di tubuhku. Lantas, di film itu, mereka berhasil tiba di puncak. Aku, belum tahu benar bagaimana bisa tiba di puncak hatimu. (FOLLOW: @zoelfick)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline