Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Perempuan di Laut Senja

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1355223495431900098

[caption id="attachment_228914" align="aligncenter" width="300" caption="Gbr: Employscoop"][/caption] Seharusnya laut itu akan lebih indah sore itu. Biru, seperti bersenyawa dengan langit yang juga membiru, sedikit disaput awan putih.Tapi, aku harus memasang muka murung. Melawan keindahan yang saat itu sedang diajarkan lautan menjelang senja bersama langit dalam birunya. Biar saja, mereka bersama biru. Aku memilih kelabu.

Kelabu yang berada di mukaku mungkin mirip seperti meniru pasir yang berbalut debu. Jika hanya pasir saja dan tak dibaluti debu, ia bisa berkilau meski hanya dipukul dengan sisa cahaya matahari itu. Apalagi jika terkena matahari siang, pasti kilaunya kian terang.

Begitulah, mukaku seperti pasir berbalut debu. Meski di sana terdapat laut dengan ombak menabuh perutnya sendiri. Menciptakan iramanya sendiri. Irama yang seharusnya bisa mengisi ruang-ruang kosong tanpa rasa di hatiku.

Pun, di sana terdapat kau dengan kulit putih kemerahan. Menatapku seperti menahan beban. Ya, beban atas sebuah kebebalan. Kebebalanku menjadi bebanmu.

"Aku muak dengan kebebalanmu! Tapi, aku lebih muak jika kehilanganmu," katamu. "Kau harus percaya itu! Aku tidak ingin kau merasa kecil di depan keluargaku! Aku ingin kau bisa membantah mereka. Bahwa soal keturunan itu sama sekali bukan sesuatu diciptakan Tuhan secara zalim dan untuk menzalimi!"

Biasanya, aku yang mengkhutbahinya. Kali ini, seperti matahari itu yang mulai menggelinding miring. Ya, berubah, sekarang perempuan ini mengkhutbahiku.

"Kau selalu katakan, seharusnya soal keturunan itu bukanlah tongkat sihir yang mengubah manusia seketika menjadi babi, anjing, monyet, dan...apapun!"

Ia masih memiliki selera cukup tinggi untuk bicara. "Sekarang...saat kau mestinya sudah harus menjelaskan sikapmu, keinginanmu, harapanmu...harapan kita...kau justru membatu!"

Ia mulai tersedu. Sedangkan aku, saat itu tak sekadar membatu, tapi memang sudah menjadi batu.

Ya. Ada kebodohanku di sini. Tidak, bukan kebodohan, karena itu masih lebih santun untuk kustempelkan pada diri sendiri. Lebih sejuk untuk kusebut saja sebagai ketololan. Kasar tapi menyejukkan karena terasa lebih jujur saat kutujukan kata "Tolol" pada diriku sendiri.

Perempuanku itu bernama Cut Faiza Shafiyya. Namanya indah. Tak hanya namanya, tapi juga bibirnya merah, ranum, sedikit berisi. Kulitnya putih, halus, kemerahan seperti kubilang tadi. Matanya, bening kebiruan. Biru yang sebenarnya lebih mampu menyejukkan daripada laut itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline