Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Mereka yang Luput dari Mata Jakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13360499901414832560

[caption id="attachment_185985" align="aligncenter" width="300" caption="Gbr: seruu.com"][/caption] Melihat Jakarta hari ini tidak melulu harus mengarahkan mata pada makin banyaknya gedung-gedung menjulang. Tapi, masih ada banyak hal yang ironi yang mungkin juga perlu dilirik. Sebagian dari ironi tersebut adalah persoalan manusia yang menjadi penghuni kota itu sendiri; anak jalanan, orang jompo yang terpaksa mengemis, dan perempuan yang juga mengemis---pilihan yang terkadang dirasa lebih baik daripada melacur.

Iya melihat Jakarta, saya sendiri lebih melihat manusia yang ada di dalamnya. Dari sana, yang menjadi titik perhatian saya adalah anak jalanan, orang jompo, dan perempuan pengemis. Alasan saya adalah; anak-anak itu terpaksa menggelandang, mengemis, mengamen, dan terkadang terpaksa melupakan mimpi untuk sekolah karena memang mereka tidak melihat ada celah untuk mereka bisa teruskan mimpi indah itu.

Sedang kemudian berkait dengan orang jompo, tentunya juga tidak jauh beda. Di hampir setiap sudut kota yang dulu disebut Sunda Kelapa ini, saya bertemu dengan mereka. Lengkap dengan cahaya mata yang redup dari sinar harapan. Mereka seperti sudah tidak hafal lagi nama anak, atau bahkan keluarga mereka lainnya, karena mungkin mereka tidak memiliki itu semua. Orang-orang yang satu sisi harusnya bisa mereka harap untuk menaruh peduli pada keadaan mereka. Ketika waktu sudah tidak mengizinkan mereka untuk bisa membanting tulang untuk meraup satu dua rupiah untuk meneruskan hidup. Tetapi itu semua memang sudah tidak bisa diharapkan lagi, maka kemudian mengemis menjadi pilihan. Halte busway, pedestrian jalan, kaki lima ruko, dan berbagai tempat yang mungkin terjangkau menjadi tempat mereka menaruh harapan; satu dua orang yang bersedia merogoh kocek buat mereka bisa mencari meski sebungkus nasi saja.

Tak kalah beda dengan sebagian perempuan yang memilih berdiri di pinggir-pinggir jalan. Kadang-kadang halaman mesjid, karena berkeyakinan tempat itu lebih banyak didatangi orang-orang baik yang dekat dengan Tuhan. Tapi mereka terkadang harus mendapati kenyataan, hasil mengemis yang mereka dapat juga tidak berimbang dengan jumlah pengunjung rumah Tuhan tersebut.

Perempuan-perempuan itu memilih demikian karena memang sedang tidak memiliki cara untuk bisa menghasilkan uang. Menjadi penjual daging yang dikenal orang dengan nama kelamin juga tidak berani mereka lakukan; terkena penyakit kelamin dan kehinaan, juga bahkan dosa. Mereka tidak mau menjadi pelacur. Kemudian untuk bisa belajar life skill yang dengannya bisa menghasilkan uang juga tidak bisa mereka dapatkan. Apalagi, jelas untuk belajar ilmu 'mencari uang' itu juga harus dengan uang.

Terakhir, hanya pemerintah yang sebenarnya jauh lebih sering mereka sebut daripada Tuhan sekalipun yang memang tidak pernah mereka lihat. Tetapi, pemerintah itu, meski bisa terlihat namun sepertinya lebih peduli pada mencari cara bagaimana bisa meneruskan kekuasaan. Tidak ada yang lebih penting dari itu.

Ah, semoga saja tuduhan saya pada pemerintah itu tidak lebih sekadar tuduhan saja. Mungkin, malam ini Tuhan sudah mengubah mereka mendadak menjadi orang-orang yang peduli pada masyarakat termarjinal seperti anak telantar, orang jompo, dan perempuan di jalanan. Amien. (Follow: @zoelfick).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline