Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Modus Anomali: Film yang Tidak Biasa

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13357097771712265282

[caption id="attachment_185073" align="aligncenter" width="496" caption="Gbr: Cinema21"][/caption] Kesan yang pertama sekali muncul ketika menyimak film besutan Joko Anwar tersebut adalah ini bukan film biasa. Jalinan cerita yang dimunculkan demikian memukau, dan memang benar-benar keluar dari lazimnya film Indonesia. Lantas seperti apa sebenarnya film itu sendiri dan bagaimana latar belakang sampai kemudian malah diapresiasi di luar negeri?

Modus Anomali adalah cerita yang dikemas dalam bentuk thriller psikologi. Bercerita tentang seorang lelaki yang terlihat memiliki masalah dengan kejiwaannya. Ia kesasar di hutan, terjebak dengan berbagai hal yang sulit ia mengerti.

Berawal dari John Evans yang diperankan oleh Rio Dewanto, aktor yang jika dilihat dari wajahnya cukup matching dengan film seperti ini, yang tiba-tiba mendapati dirinya sendiri terkubur hidup-hidup di sebuah hutan yang tidak dikenalnya. Ia hanya berteriak minta tolong di tengah hutan yang demikian senyap, tanpa jawaban.

Kemudian ia tiba di sebuah rumah kosong yang di dalamnya ia menemukan berbagai hal yang mengejutkan; video perempuan hamil yang mati di bunuh dengan tikaman pisau di perutnya yang membuncit. Kemudian, ia juga temukan kamar yang di dalamnya terdapat peti yang selanjutnya malah membuatnya terjebak di sana dan nyaris mati terbakar setelah seseorang yang misterius datang dan membakar peti serupa peti itu.

Dari berbagai scene selanjutnya membawa penjelasan bahwa John Evans mengalami penyakit yang mirip dengan Demensia, penderita mengalami kehilangan kemampuan untuk mengingat berbagai hal yang berhubungan dengannya.

Tidak hanya Demensia itu yang menjadi masalah bagi Evans lebih lanjut, namun juga kesenangan untuk membunuh dan merasa sangat menikmati ketika ia bisa membantai satu keluarga yang sedang berlibur di hutan yang sama itu.

Menyimak keseleruhan film yang diproduseri oleh Sheila Timothy tersebut, sutradara---Joko Anwar, sekaligus penulis naskah---cukup piawai memainkan emosi penonton dengan meramu berbagai macam suara. Baik suara pintu yang terbuka meski pintu tersebut tidak diperlihatkan di layar, juga jejak langkah, bahkan juga suara babi hutan. Kombinasi suara tersebut memberi dampak berupa imajinasi yang muncul sendiri di pikiran penonton. Di samping juga cara kameramen melakukan shoot yang cukup unik, sehingga semua itu seperti saling bekerja sama untuk mempermainkan emosi dan imajinasi penonton.

Memang, jika menyebut alur penceritaan, pelibatan tokoh satu dengan lainnya, dan setting lokasi bisa disebut sederhana. Hanya saja, justru kemampuan Joko Anwar mengatur kesederhanaan yang membuat film ini bisa disebut sebagai film istimewa. Bayangkan saja, sepanjang film, Anda hanya akan menemukan hutan dan hutan saja dan rumah yang tidak sampai tiga unit. Selebihnya, hanya gambar ketakutan dari tokoh utama yang berlarian dan dibaluti kepanikan kuat.

Sedang jika mencoba menyimpulkan film itu ke dalam klasifikasi adegan, tidak lebih lebih dari tiga saja yang menonjol; tokoh utama yang ketakutan dan panik karena pengaruh kondisi kejiwaannya yang seperti sedang bermain-main dengan kematian, satu keluarga yang sedang piknik terbunuh, dan perjalanan si tokoh utama sendiri dengan mengendarai mobil sepanjang jalan hutan.

Nah, racikan dari komposisi itu pula yang membuat film ini terasa istimewa. Dalam  kesederhanaan berbagai hal yang ada dalam film itu, namun bisa membuat penonton menahan nafas, dibaluti tanda tanya kenapa? apa?siapa?  di mana dan bagaimana?

Sepertinya penulis naskah yang kebetulan juga Joko Anwar sendiri memang menyengaja untuk membuat penonton film tersebut bertanya-tanya.. Jalan ceritanya memang tidak mudah untuk ditebak. Tak pelak, di Texas, Amerika, film ini ditonton lebih dari 1500 penonton. Apalagi, film dimaksud pertama sekali diputar di acara South by South West (SXSW) di Texas, Amerika Serikat pada pertengahan Maret 2012 lalu seperti dilansir kompas.com (2/4).

Soal Bahasa.

Umumnya film yang lahir dari sineas Indonesia  bisa dipastikan akan pergunakan bahasa Indonesia. Jika pun pergunakan bahasa luar, kerap kali hanya sepotong-sepotong laiknya kelatahan umum yang terjadi di dunia realitas masyarakat negeri. Beda halnya dengan film ini sendiri, sepanjang film berlangsung, berbagai dialog yang muncul sepenuhnya pergunakan bahasa Inggris.

Memang, tidak ada yang tahu persis alasan Joko Anwar memilih bahasa Inggris dalam keseluruhan dialog di dalam film dimaksud. Namun, pilihannya demikian seolah menjadi sindiran untuk masyarakat negerinya sendiri bahwa jika ingin pergunakan bahasa luar, jangan hanya sepotong-sepotong.

Meski begitu, mengutip sumber dari beberapa media disebutkan, Anwar beralasan bahwa film ini memang bukan diangkat dari kehidupan riil yang ada di negara ini. Jadi, itu juga menjadi alasan maka ia memilih bahasa yang memang tidak berbau Indonesia. (Follow:@zoelfick).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline