Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Mencari Ruang untuk Anak Bermain di Jakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13354474251331082270

[caption id="attachment_184415" align="aligncenter" width="490" caption="Gbr: Ecka"][/caption]

Kerap saya perhatikan anak-anak bermain di lorong-lorong kecil di Palmerah dan sekitarnya. Di sana, mereka terkadang harus pergunakan jalanan di lorong, sekadar untuk bisa bermain-main. Hanya jalanan itu saja, hanya untuk bermain bola dan berkejar-kejaran dengan teman-temannya. Terkadang harus mengalah saat motor merangsek ke jalan itu. Ini hanya catatan kecil tentang anak-anak yang kian tidak mendapat ruang untuk ia bermain di kota bernama Jakarta itu.

Pada kesempatan lain, saya berkunjung ke beberapa mall; di Kalibata, Cililitan, dan beberapa tempat lainnya. Di tempat-tempat itu, tersediakan ruang untuk anak-anak bisa bermain. Beberapa teman yang sudah memiliki anak, tentu saja membawa anak-anaknya bermain ke tempat tersebut.

Terbetik di pikiran saya, betapa meski hanya untuk bisa bermain, anak-anak itu harus membeli, walaupun uang yang dipergunakan memang milik orang tuanya. Masa kecil yang mahal, kukira.

Seorang teman bercerita, setiap akhir pekan, mereka sering membawa anaknya ke tempat-tempat seperti disediakan berbagai mall yang ada di Jakarta.

"Habisnya mau bagaimana lagi. Toh, semua jengkal tanah di Jakarta ini nyaris semua menjadi tempat untuk dibangun jalan dan mendirikan berbagai macam bangunan. Tidak bisa dielak," cerita seorang teman, seolah mengeluhkan kondisi tersebut.

Terpikir oleh saya, kota seperti Jakarta tidak ramah untuk banyak penghuninya, bahkan untuk anak-anak sekalipun. Kondisi, seperti disebut teman saya itu, yang memang sudah tidak bisa dielak.

Mencari tanah lapang di Jakarta untuk anak-anak tidak terganggu untuk bermain bersama teman-temannya, tidak mudah untuk mencarinya. Jika saja, itu juga hampir bisa dipastikan berada jauh dari lingkungan rumahnya. Sedang di sekitar tempat mereka berdiam, tak pelak hanya ada jalan-jalan kecil dengan semua lorong-lorongnya. Sampai untuk bisa menendang bola pun, kadang terlempar ke piring bakso penjaja makanan yang juga merebut tempat di pinggir-pinggir jalan.

Padahal, berbicara mendidik anak lewat ruang permainan dengan membawa mereka ke mall-mall yang menyediakannya, apakah benar itu bagus untuk anak-anak tersebut? Apalagi, jamak kita tahu, meski tidak mutlak, namun mall adalah simbol dari konsumerisme. Mall adalah simbol dari gaya hidup yang identik dengan penghamburan uang. Pendidikan positif apakah yang bisa diberi lewat wahana permainan yang ada di berbagai mall itu?

Memang, itu sudah menjadi konsekuensi untuk anak-anak yang terlahir di kota besar seperti halnya Jakarta. Tidak bisa mengecap kehidupan leluasa seperti saya sendiri alami dulu di kampung; bisa bermain layang-layang di sawah sehabis panen. Bisa bermain bola di halaman mesjid kampung. Juga bisa ke sungai untuk berenang dan melihat hijaunya hutan.

Maka, tak heran, jika seorang kawan lainnya sampai berujar skeptis,"Adakah cara lain di Jakarta ini untuk bisa menjawab kebutuhan anak untuk bermain, selain membawanya ke mall-mall?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline