Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Membaca Tradisi Interaksi di Media Sosial

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Awalnya, saya sendiri mengalami kerancuan untuk menyebut "sosial media" atau "media sosial". Tak pelak, dalam beberapa diskusi, saya pun melakukan kekhilafan dengan menyebut sosial media. Intinya, ada pemutarbalikan penyebutan untuk media yang versi Inggrisnya jamak dikenal dengan "social media."

Nah, ternyata, kekhilafan seperti halnya yang saya lakukan dalam menempatkan sosial media atau media sosial itu tadi, juga merangsek ke tradisi yang muncul di kalangan pegiat media sosial. Apalagi itu? Ya, dalam berdiskusi.

Dalam sepanjang 5 tahun terakhir, terdapat bentuk diskusi yang cukup beragam muncul. Baik yang sekadar untuk menumbuhkan keakraban antara pengunjung dengan pemilik; di Facebook, Twitter, Blog, dlsb, maupun benar-benar diskusi kritis.

Dalam beberapa forum media sosial yang saya masuki, terketemukan kentalnya tradisi diskusi dengan pola keras dan kritis. Tidak ada istilah beramah tamah di sana. Tidak ada cerita saling menyapa hangat. Mereka lebih tertarik dengan sesuatu yang bersifat panas, yang pastinya berada jauh di atas sekadar "hangat".

Pada forum lainnya, saya mendapati tradisi yang cenderung lebih soft; ramah, bersahabat, akrab, dan semisalnya. Sedang pada yang lain lagi, seperti halnya Kompasiana, culture yang terbangun cenderung lebih variatif; terdapat kalangan yang bisa berbasa-basi dengan cukup bersahabat. Mudah ditemukan orang-orang yang terbuka dengan persahabatan. Tidak sulit mendapati orang yang bisa dengan enteng berakrab-akrab ria. Tak kurang, banyak pula yang terlihat berjiwa petarung. Artinya, mereka memetakan orang-orang dengan kacamata biner; baik atau buruk, kawan atau lawan.

Nah, dari sana, saya memperhatikan lagi, mereka yang masuk ke satu tradisi dan konsisten di sana, atau pun bisa masuk ke mana saja, tak ayal saya dapati beragam sikap pula saat ditemui di luar dunia cyber dan bertemu secara tatap muka langsung. Dari sana saya mengklasifikasikan mereka ke dalam 3 kategori pegiat media sosial:

1. Tipe Asertif (Tegas), untuk mereka yang murni memperlihatkan diri apa adanya. Bagaimana mereka berinteraksi di media sosial, demikian adanya pula mereka saat bersua di luar media sosial. Bagi mereka, berinternet, bermedia sosial, tidak menjadi alasan untuk menjadi 'makhluk lain'. Namun, mereka pertahankan konsistensi untuk menjadi dirinya seperti apa adanya.

Mereka dengan karakter seperti ini cenderung tertawa dan marah pada porsi yang match dengan aslinya. Biasanya mereka sangat antipati dengan kepura-puraan dan berbagai bentuk kepalsuan, bahkan cenderung melawan itu---meski tidak tertutup pula ada juga yang memilih to be calm saja.

2. Tipe Penari Topeng; mereka ini jelas tidak menunjukkan diri apa adanya. Apa yang ditunjukkan bagi mereka, ya seperti laiknya penari topeng. Ia mengenakan topeng Ramayana yang menyejukkan, tetapi di baliknya bisa saja ia sedang tersenyum kecut atau bahkan menyimpan geram dengan bermacam alasannya.

Prinsip mereka, media sosial itu tidak lebih seperti teater, tempat untuk mereka tidak dituntut untuk menunjukkan keasliannya. Namun, mereka memandang, akting yang paling bagus, itulah yang bagi mereka sebagai kesempurnaan. Tak pelak, karakter seperti ini, sering kali dijauhi ketika kemudian topengnya terlepas.

Tidak kurang juga, untuk memenuhi birahi ia berekspresi, mereka di tipikal ini akan dengan enteng menghabiskan waktu untuk bikin akun-akun dengan berbagai macam nama dan bentuk. Kadang-kadang, orang-orang banyak terkecoh dengannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline