Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Kampung Fiksi, Saat Perempuan Angkat Bicara Lewat Sastra

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_152094" align="aligncenter" width="390" caption="Pekerjaan yang terlihat kecil, satu waktu kelak boleh jadi akan menjadi sejarah besar(Gbr: Winda Krisnadefa)"][/caption]

“Pekerjaan yang terlihat kecil, satu waktu kelak boleh jadi akan menjadi sejarah besar”

Kalimat tersebut terloncat keluar dari pikiran saya, saat seorang rekan, Deasy Maria, mengabarkan, ia dan rekan-rekan di komunitas bernama Kampung Fiksi mengadakan Workshop Perempuan: Menulis dan Blogging---di Bekasi Cyber Park (26/11). Seketika, rasa kagum menyeruak. Betapa, perempuan tidak pernah kehabisan cara dalam berkreasi.

Kemunculan komunitas Kampung Fiksi, sudah saya amati dari sejak beberapa bulan lalu. Komunitas dimaksud muncul dari kesamaan hobi kalangan penulis perempuan yang mengawali kepenulisannya dari blogging. Terdapat sederet nama di sana, seperti Winda Krisnadefa yang notabene sebagai penulis yang sudah akrab dengan beberapa penghargaan kepenulisan, Meliana-Indie, G. Siahaya, Deasy Maria, Ria Tumimomor, Sari Novita, Endah Raharjo, Indah Wd dan beberapa nama lainnya (cat: semua nama tersebut awalnya adalah penulis Kompasiana).

Dari yang saya perhatikan---terkait dengan fenomena keberadaan komunitas itu---mereka berangkat dari berbagai latar belakang agama, suku, latar belakang pendidikan, profesi dan usia. Beberapa dari mereka adalah ibu rumah tangga. Sebagian lainnya menjalankan peran ganda, sebagai ibu rumah tangga sekaligus karyawan di berbagai perusahaan. Selain, beberapa memang masih sebagai pelajar/mahasiswi.

Merenung-renung keberadaan komunitas dimaksud. Pertama, saya terkagum-kagum dengan keberhasilan mereka dalam meng-transformasi dari ‘sekadar’ perempuan, mewujud dalam pengabdian. Iya, apa yang mereka tunjukkan terlihat sekali sebagai sebentuk pengabdian.

Kedua, mereka sudah berhasil mengambil satu posisi gerak, dari sekadar hal-hal yang lazimnya identik dengan keperempuanan. Berpindah ke gerak dari sudut yang demikian bergengsi: kepenulisan.  Bukan sekadar kepenulisan biasa, namun merambah ke satu titik yang lebih “serius”, dan itu sastra. Siapa yang akan mengatakan sastra sebagai sesuatu yang sederhana di tengah arus perkembangan peradaban dunia?

Ketiga, mereka membangun suatu budaya yang tergolong baru di Indonesia (dan mungkin juga di negara-negara  Dunia Ketiga lainnya). Budaya dimaksud adalah dalam membangun pola pikir yang progressif, maju dan punya daya ledak. Artinya, kesibukan mereka sebagai perempuan, berbagai aktifitas yang melingkupi tanggung jawab mereka sebagai perempuan, tidak dijadikan sebagai alasan untuk berhenti berkreasi.

Berkaitan dengan transformasi yang saya maksud sebelumnya. Coba saya lihat dari kultur yang masih melekat di Indonesia, yang cenderung masih mendudukkan perempuan sebagai “pemain kelas dua” dalam berbagai aktifitas. Artinya, dalam berkegiatan, kendati bisa disebut leluasa, namun dalam berbagai hal masih kerap menempatkan perempuan: mereka hanya bisa melakukan hal-hal sederhana. Tidak lebih dari kegiatan yang tidak jauh-jauh dari keperempuanan mereka. Sampai menggiring pada kesimpulan bahwa aktifitas pun memiliki kelamin. Terjadi pendiferensiasi, pembedaan peran yang terkadang tidak masuk akal. Di luar munculnya pembagian peran yang berangkat dari logika, bahwa yang “ter”---terbaik, terpantas, dlsb--- itu hanya bisa dimainkan lelaki.

Kemunculan komunitas ini menggebrak kultur dimaksud. Selain, mereka juga melakukan transformasi dengan melabrak sekat-sekat. Saya sebut begitu, karena memang Indonesia masih lazim tersekat-sekat dengan soal ideologi, agama, suku, dlsb.

Dengan keberadaan komunitas yang mengakomodir kegiatan tanpa tersekat persoalan-persoalan ideologi/agama dan sejenisnya itu. Sedikitnya, mereka menjadi ‘penyumbang’ beberapa nilai yang memang masih dibutuhkan di negeri ini.

Nilai dimaksud: bahwa dalam perbedaan latar belakang, sejatinya yang dibutuhkan adalah mencari titik kesamaan yang bisa memunculkan sesuatu yang positif, alih-alih berkutat pada pertikaian ideologis yang tidak jelas konsekuensi negatif-positifnya. Apalagi toh, persoalan ideologis dan agama—sebagai misal—lebih sebagai sesuatu yang tertanam dari keberagaman pengalaman, kesempatan pendidikan, lingkungan yang kadangkala tidak bisa dipilih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline