Tuhan memakai pewarna melukis banyak hal. Ada banyak warna bahkan meski hanya untuk melukis wajah getir. Warna yang tak segamblang warna siang. Seperti siang ini. Dalam sapuan siang yang cerah, tak sedikit hati yang disapu gelisah. Ketika matahari bersinar teduh, banyak tatapan mata yang sama sekali tidak teduh. Dan, itu adalah permainan kuas-Nya. Hidup terkadang hanya permainan warna saja. Tetapi, Dia tahu warna mana saja yang terindah. Sedang terkadang kita memaki entah secara terang-terangan atau diam-diam permainan warna-Nya, itu juga permainan sikap yang benar. Setidaknya kita sedang isyaratkan bahwa kita butuh tangan-Nya untuk memberi tahu. Sebab, nafas kita tidak terlalu panjang untuk menghirup dan kemudian melepaskan keterheranan yang menggumpal seperti kambing bunting. Sebenarnya itu bukan keterheranan, tetapi memang kebodohan kita sendiri yang gagal kita penggal. Gagal kita babat. Kita cenderung membabat batang-batang saja. Batang-batang kebodohan. Sedang tangan kita mendadak lumpuh saat harus menggali sedikit tanah yang terlihat cadas. *** "Bermainlah dalam gelap sampai ke ujung." Bermula dialog satu ketika. "Tetapi gelap itu akan membuatku tersasar. Aku tersesat. Bagaimana aku nanti bisa kembali pada jalan seharusnya?" "Tersesat jauh lebih baik daripada kau berada dalam terang dan kau tidak tahu kelebihan tempatmu itu!" Hening. Yang tersisa selanjutnya adalah suara langkah yang berderap. Menuju gelap. Untuk satu warna. Hitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H