Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Rindu Berwarna Merah Darah

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam itu, malam sedang merangkak seperti bayi. Ia terengah sendiri, sedang kita tertawa saja.

Kutepuk pundakmu tanpa perlihatkan tanganku. Kau tahu, saat itu juga, aku sedang alirkan darahku, ke dalam tubuhmu. Mungkin memang hanya lewat pori-pori. Boleh jadi kau tak bisa rasakan aliran darahku. Darah yang mengucur deras karena sudah kutebas urat nadiku, selanjutnya. Dalam diam, kau tahu, aku berharap darah itu bisa kian merahkan rindumu padaku.

Lalu, saat malam mulai mengerling titik tengah jalanannya. Tanganku sudah menyentuh kulit lehermu. Mengusap rambut-rambut halus di sana. Dan, aku menatap jauh ke dalam matamu. Ingin tahu saja, bagaimana kau selama ini membaca rinduku. Kukira, tanpa merasuki binar mata indahmu itu, aku tak pernah bisa nikmati kerlingan matamu yang lebih lekat dari malam pekat. Yang lebih teduh dari matahari penat.

Sampai muncul tanyamu, saat bibirku bersiap untuk berlabuh di sana. Tanya yang lebih terdengar sebagai irama nafas,"Bagaimana kau bisa mencintaiku? Dan nanti bagaimana kau bisa menjaga cinta itu?"

Tetapi, keras kepalaku hanya mampu membuatku menyela,"Tidak semua tanya butuhkan jawaban."

Ketika itu, aku ingin tegaskan, bahwa perjalanan bukan untuk dibicarakan. Cinta itu juga demikian. Seperti juga rindu yang tidak menuntut kata-kata untuk kemudian menjadi palu yang pecahkan balok batu misteri yang melekat padanya.

Semua itu, kuyakini akan bisa ditangkap terang oleh nurani. Melebihi ketika kau harus menangkap bibirku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline